Kisah Wantilan

Seorang kawan, lewat group WA, mengirim beberapa gambar bangunan wantilan. Dari tampilan fisik dan sosoknya, sudah bisa ditebak itu bukanlah bangunan baru. Jaman sekarang, wantilan dengan empat tiang utama penyangga atap tengah sudah jarang, mungkin hampir tidak lagi, dibuat. Gambar tersebut disertai keterangan bahwa bangunan tersebut dibuat oleh seorang undagi yang sudah sangat dikenal di masyarakat. Undagi tersebut adalah Ida Pedanda Made Sidemen yang lahir di Grya Taman Sari, Sanur tahun 1878 M. Sang pendeta, selain menekuni ilmu undagi, juga dikenal sebagai sastrawan, berteman karib dengan Raja Denpasar yang gugur dalam perang Puputan Badung.

Tidak ada informasi akurat, kapan sang undagi membangun wantilan tersebut. Tetapi, diperkirakan umurnya sudah sangat tua. Sanur terus tumbuh dan berkembang. Wantilan tua itu konon harus mengalah pada bangunan wantilan baru. Nasib baik, seorang arsitek senior, Pak Ketut Arthana, mendengar khabar dan membeli semua bagian.

Saya coba menghubungi arsitek asal Singaraja tersebut. Dari beliau saya mendengar kisahnya. Setelah dibeli, dalam waktu yang cukup lama, wantilan tersebut ada di gudangnya. Inisiasi untuk membuat museum lontar lalu tercetus di Karangasem. Pak Ketut mendengar dan menawarkan diri terlibat. Ia melihat peluang untuk menghidupkan Kembali karya sang undagi. Saat akan didirikan, diketahui bahwa beberapa bagian kayu sudah lapuk. Untunglah tiang penyangga utama nyaris utuh sehingga dapat dimanfaatkan kembali. Tiang-tiang didirikan, kayu yang masih utuh dirakit dan yang sudah lapuk diganti. Pak Ketut menyatakan meski tidak banyak kayu yang bisa digunakan Kembali, ia seutuhnya membangun proporsi dan ukuran sedekat mungkin dengan bangunan aslinya. Hasilnya, sebuah wantilan yang anggun. Bangunan akhirnya dihibahkan untuk dimanfaatkan sebagai pendukung museum lontar di Karangasem.

MENDEFINISIKAN KEBERLANJUTAN DALAM ARSITEKTUR FASILITAS PARIWISATA DI BALI

Artikel ini sudah dipresentasikan pada Seminar Nasional Arsitektur dan Desain (SENADA) yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Desain.

Untuk sitasi dan unduh artikel lengkapnya, silakan mengunjungi http://eprosiding.std-bali.ac.id/

 

I Nyoman Gede Maha Putra1)

1) Universitas Warmadewa

gedemahaputra@gmail.com

 

 

ABSTRACT

Architecture and cities are the product of humans. They are the backgrounds of people’s activities. Technology helps human to create more jobs, produces more profits, allows better efficiency, and produces greater wealth. It increases human activities. Architecture and urban design are also growing, following the increasing human activities. More building typologies with diverse designs were created and being created over time. As a result, cities are in a state of constant development, expanding beyond their traditional boundaries. On one hand, these growing cities and building typologies fulfils human needs. On the other hand, more resources and energy are needed; more waste is produced and, in the case old buildings are being demolished, extra residuals are being left. City expansion and its sustainability issue have become global concern. In Bali, major development is focused to support tourism. Many facilities have been and are being built to serve the needs of foreign visitors. Physical development on the southern part of the small island has raised issues on sustainability. This paper aims to explore the global issue of sustainable development and to bring the discussion to Bali. Analysis of secondary data from various global reports combined with analysis of local development archives is carried out to get an overview of the policy side. Interviews with building actors, especially architects and property managers, were conducted to see how this issue was responded locally. Finally, observations were made on case studies in Bali to test the extent to which practices towards sustainability principles were carried out. The analysis shows that economic growth and slowdown have an impact on strengthening and dimming awareness of the principle of sustainable development. Sustainable building practices are realized in a limited way among architects but at the operational stage are often ignored. This paper recommends the need for binding regulations and the importance of raising awareness of this issue among the new generation of urban designers and architects.

Keywords: sustainable development, green building, tourism facilities

 

 

ABSTRAK

Arsitektur dan kota adalah karya manusia yang menjadi latar kehidupannya. Semakin kompleksnya aktivitas dan semakin cepatnya sebuah aktivitas berganti akibat tuntutan efisiensi menyebabkan semakin banyak typology bangunan yang tercipta dengan jumlah yang semakin banyak. Akibatnya kota-kota terus tumbuh melampaui batas tradisionalnya. Hal ini berimplikasi pada semakin banyaknya sumber daya yang dibutuhkan, semakin tinggi konsumsi energy, serta semakin banyak residu dalam bentuk limbah yang dihasilkan. Praktek-praktek membangun yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan seringkali dikritik namun ia tetap dilakukan demi memenuhi kebutuhan manusia sehingga isu keberlanjutan dalam bidang arsitektur dan desain urban menjadi semakin relevan untuk dibahas. Paper ini bertujuan mengeksplorasi isu keberlanjutan global dan membahasnya dalam ranah lokal di Bali. Analisa terhadap data sekunder yang berasal dari berbagai laporan global dipadukan dengan analisis arsip pembangunan lokal dilakukan untuk mendapat gambaran dari sisi kebijakan. Wawancara dengan pelaku bangunan, terutama arsitek dilakukan untuk melihat bagaimana isu ini mendapat tanggapan di ranah lokal. Terakhir, observasi dilakukan terhadap beberapa studi kasus arsitektur dan bangunan yang ada di Bali untuk menguji sejauh mana praktik-praktik terhadap prinsip-prinsip keberlanjutan dilakukan secara nyata. hasil analisis menunjukkan bahwa pertumbuhan dan perlambatan ekonomi memberi pengaruh pada menguat serta meredupnya kesadaran atas prinsip pembangunan berkelanjutan. Praktik-praktik bangunan berkelanjutan disadari secara terbatas pada kalangan arsitek tetapi pada tahapan operasional seringkali diabaikan. Paper ini merekomendasikan perlunya dibuat peraturan yang mengikat serta pentingnya menumbuhkan kesadaran terhadap isu ini di kalangan generasi baru arsitek dan perancang kota.

Kata kunci: keberlanjutan, arsitektur hijau, fasilitas wisata

 

PENDAHULUAN: Pertumbuhan Ekonomi, Kota dan Arsitektur

Persoalan tentang keberlanjutan di dalam arsitektur dan perencanaan perkotaan mengemuka saat pembangunan massif terjadi setelah berakhirnya Perang Dunia Ke-2. Lahirnya negara-negara baru dengan keadaan politik dan keamanan dunia yang semakin stabil, perdagangan antar negara yang lancer dan semakin meluasnya pusat-pusat produksi, distribusi serta membesarnya pasar menyebabkan terciptanya ledakan ekonomi. Selain itu, teknologi yang sebelumnya dipakai untuk membuat peralatan tempur kini bias dialihkan untuk memproduksi barang-barang konsumsi serta membantu menciptakan moda-moda transportasi baru.

Kota-kota besar di Kawasan utara menjelma menjadi pusat-pusat ekonomi, mengendalikan perdagangan global. London, New York, Tokyo merupakan pusat-pusat distribusi ke arah mana bahan mentah dibawa dan dari mana bahan jadi disebarkan ke seluruh dunia. Akibatnya, kota-kota tersebut menjadi pusat akumulasi modal baik dalam bentuk uang, manusia maupun sumber daya lain termasuk pengetahuan.

Arsitektur dan desain urban menjadi wujud paling jelas dari akumulasi kapital di kota-kota tersebut. Semenjak perekonomian membaik, dunia menyaksikan lahirnya teknologi-teknologi bangunan yang sebelumnya tidak ada. Teknologi struktur dan bahan memungkinkan dibuatnya bangunan lebih tinggi, lebih besar dan dalam waktu yang lebih cepat dari sebelumnya. Perlombaan membuat bangunan tinggi mulai semakin intensif pada pertengahan abad ke-20.

Persaingan antar negara sejatinya belum berakhir meskipun perang sudah mereda. Arenanya berubah dari militer menjadi persaingan ekonomi dan identitas. Di bidang arsitektur, tanpa disadari, Amerika menjadi eksportir gaya arsitektur jaman baru (Adam, 2013). Gaya tersebut berwujud gedung berbentuk kotak, boxy, dengan material dan menerapkan teknologi terbaru pada masanya. Selain melesatnya pertumbuhan ekonomi, masa pasca perang juga ditandai dengan tatanan politik global baru. Negara-negara membentuk aliansi-aliansi untuk melindungi kepentingan ekonominya sekaligus menjaga agar mereka tetap terhubung dengan negara lain. Dengan keadaan dunia yang stabil, kerjasama ekonomi, dan disertai dengan kemajuan teknologi, perekonomian semakin membaik. Kota-kota yang pada abad ke-19 merupakan pusat-pusat aktivitas colonial berkembang menjadi kota dunia. Dihuni oleh perusahaan yang skalanya menjangkau wilayah-wilayah yang jauh, menyedot keuntungan finansial yang besar dan juga mengundang penduduk dari berbagai belahan dunia untuk datang mengadu peruntungan. Cabang-cabang perusahaan di buka di negara-negara lain yang kadang jauh dari kantor pusatnya di Amerika atau Eropa. Kekuatan kapital yang mewujud dalam bentuk bangunan menjalar ke seluruh dunia. Kantor-kantor kedutaan serta hotel-hotel milik pengusaha besar Amerika menjadi agen-agen untuk memperkenalkan budaya arsitektur baru.

Saskia Sassen meramalkan bahwa konsentrasi ekonomi di wilayah perkotaan menyebabkan terjadinya ketimpangan di dalam negara. Keuntungan finansial terkonsentrasi di kota. Delapan puluh persen luaran ekonomi ada di perkotaan. Pada skala global, kota-kota di wilayah global North menjadi pusat arus kapital dunia (Sassen, 2005). Di dalam kota sendiri tidak terjadi pemerataan ekonomi. Jarak antara orang kaya dan miskin semakin jauh akibat akumulasi keuntungan yang tidak merata. Setiap tahun diperkirakan terjadi pertambahan 50 juta penduduk miskin baru di kawasan perkotaan (Burdett & Sudjic, 2011).

Aktivitas ekonomi membutuhkan latar serta moda transportasi untuk bias terus memproduksi surplus. Booming ekonomi pasca perang dunia juga diikuti dengan semakin banyaknya bangunan tinggi dan besar yang dibangun. Kota-kota dimana terjadi akumulasi modal dan tenaga kerja menjadi lokasi tumbuhnya bangunan-bangunan baru. Hari ini, seiring dengan perkembangan teknologi yang dimulai sejak jaman revolusi industri, banyak kota yang tanpa sadar tumbuh dan berkembang jauh melampaui batas-batas tradisionalnya. Akibatnya, pusat dan pinggiran kota semakin menjauh. Pada kasus lain, banyak juga tumbuh pusat-pusat kota baru melahirkan multi-nuclei urban agglomeration. Untuk menghubungkan pusat dan pinggiran serta pusat-pusat kota baru, kota mengandalkan kendaraan karena jaraknya yang semakin menjauh. Banyak jalan dibangun untuk mengakomodir kendaraan yang jumlahnya terus bertambah.

Dalam kasus kota-kota semakin membesar melampaui batas tradisionalnya dimana penggunaan kendaraan semakin meningkat, kota kehilangan sisi humanisnya. Kota semacam ini secara konsisten terus membutuhkan lahan untuk jalan dan parkir. Konsekuensinya, lahan yang semula menjadi wilayah pejalan kaki tereduksi dan jumlahnya terus berkurang. Manusia tidak lagi merasa nyaman karena kota dikuasai oleh kendaraan bermotor.

Saat ini, diperkirakan, lebih dari 50% manusia di planet bumi hidup di kawasan perkotaan. Di lain pihak, hanya 2% luas permukaan bumi yang berbentuk urban. Dengan demikian, bisa dibayangkan kepadatan yang terjadi. Angka ini terus meningkat dan diprediksi pada tahun 2050 jumlah manusia yang mendiami kawasan-kawasan padat penduduk akan membengkak menjadi 75% dari total populasi dunia (UNHABITAT, 2017).

Fenomena pembangunan dengan mengedepankan teknologi dianggap sesuai dengan system perekonomian global yang nemenmpatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya dari segi waktu. Bangunan-bangunan baja, kaca dan beton dapat dibuat dengan standar-standar industry yang dialayani oleh mesin-mesin yang terus berkembang semakin canggih. Keterbatasan alami bias diatasi dengan penemuan-penemuan teknologi baru. Masalah penyediaan iklim kerja di dalam ruangan dapat diselesaikan dengan system penghawaan buatan. Demikian pula halnya dengan system pencahayaan yang diselesaikan dengan tata penerangan non-alami. Bangunan di lahan sempit bias diatasi dengan membuatnya menjulang. Untuk mencapai lantai-lantai yang semakin tinggi maka dibuatlah system transportasi vertical. Dengan teknologi yag diciptakan, maka semakin banyak tantangan yang dapat diatasi. Kota-kota tumbuh membesar, meninggi, dan meluas. Ukuran yang semakin tambun membuatnya semakin boros dengan sumber daya.

Selain memenuhi kebutuhan sebagai latar aktivitas ekonomi, kota-kota dan arsitekturnya juga menjadi etalase pementasan identitas, perlambang kemajuan ekonomi serta kemutahiran teknologi sebuah bangsa (Adam, 2013). Bangunan-bangunan di kota menjadi konsumen energi yang sangat besar. Ruang-ruang dalamnya diciptakan untuk menyediakan kualitas yang baik untuk manusia. Untuk itu diperlukan penerangan, pengondisian udara serta transportasi vertical yang digerakkan oleh energi listrik. Semakin tinggi dan besar sebuah gedung, maka semakin banyak energi yang dibutuhkan. Saat ini diperkirakan sekitar 60-80% energi dunia disedot oleh bangunan-bangunan yang ada di kota. Akibatnya, 75% karbondioksida juga dihasilkan oleh Kawasan padat penduduk dengan hunian yang rapat tersebut. Dalam hal ini, arsitektur menjadi bidang ilmu yang bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas perkotaan Ia ada pada posisi yang sangat penting dalam menangani isu-isu perkotaan di masa mendatang (Burdett & Sudjic, 2011). Karya-karya arsitektur memberi sumbangan signifikan pada bentuk fisik kota. Bentuk-bentuk fisik yang dihasilkan oleh arsitek bisa menjadi solusi ataupun bisa menjadi masalah bagi perkotaan.

Pada puncak partumbuhan dunia tahun 1960-1970an terjadi krisis yang menghantam perekonomian dunia. Krisis ini diakibatkan oleh konflik di negara-negara penghasil minyak di timur tengah serta mandegnya produksi minyak di Amerika. Akibatnya, harga komoditas yang menjadi sumber utama energi dunia tersebut meroket. Yang paling besar terkena dampak dari krisis ini adalah negara-negara dengan konsumsi energi besar seperti Amerika Serikat, Kanada, Negara-negara di Eropa Barat, Australia hingga New Zealand.

Kesadaran bahwa bangunan-bangunan yang dibuat sangat boros terhadap energi mulai tumbuh. Hal yang sama terjadi pula dalam hal identitas arsitektur. Keduanya: kesadaran ekologi dan identitas, turut membidani lahirnya upaya-upaya mencari alternative arsitektur baru. Tahun 1970-an hingga 1980-an akhir merupakan masa dikritiknya gaya arsitektur modern. Selain membuat bangunan di kota-kota di seluruh dunia terlihat mirip, gaya modern juga dianggap ingkar terhadap potensi alam setempat: budaya, sumber material, ketukangan, tenaga kerja serta sumber daya energi seperti air, angin dan matahari. Pengingkaran terhadap budaya setempat mungkin membuat karya-karya arsitektur modern yang terbuat dari baja, kaca, beton dengan bentuk kotak, menjadi alien di tengah lansekap budaya lokal. Yang paling jelas adalah ditinggalkannya cara membangun dengan pendekatan kesetempatan.

Unted Nations World Commission on Environment and Development (WCED) mencoba merumuskan arah Pembangunan yang lebih ramah terhadap lingkungan. Lembaga yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa tersebut menunjuk Gro Harlem Bruntland, mantan Perdana Menteri Norwegia, untuk membahas dan menyelidiki strategi pembangunan. Dalam laporannya, yang berjudul Our Common Future, disebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah:

“development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs.” (WCED, 1987).

Pemahaman tentang prinsip berkelanjutan dari WCED tersebut lalu banyak diadopsi sebagai landasan pembangunan secara global. Komisi PBB tersebut juga menyadari bahwa penerapan aksi pembangunan berkelanjutan tidak dapat dilakukan sebagian-sebagain tetapi harus menyeluruh. Untuk itu mereka menyusun mandate:

“ Re-examine the critical issues of environment and development and to formulate innovative, concrete, and realistic action proposals to deal with them;

strengthen international cooperation on environment and development and to assess and propose new forms of cooperation that can break out of existing patterns and influence policies and events in the direction of needed change; and

raise the level of understanding and commitment to action on the part of individuals, voluntary organizations, businesses, institutes, and governments” (WCED, 1987).

Kesadaran tentang keterbatasan energi membuat orang-orang mulai lagi melihat ke tradisi membangun pada masa sebelum abad ke-20. Masa-masa tersebut, saat transportasi dan teknologi masih terbatas, material bangunan diambil dari lokasi sekitar dan disusun sedemikian rupa untuk memodifikasi iklim dengan teknologi yang sederhana. Cara-cara tersebut selama ribuan tahun terbukti mampu membuat bangunan sesuai dengan budaya setempat dan memiliki biaya operasional yang murah (AlSayyad & Bourdier, 1989).

Meskipun respons awal kemunculanya dipicu oleh krisis energi, upaya untuk membuat bangunan yang lebih ramah terhadap lingkungan, yang berlanjut/sustainable, ternyata memiliki keuntungan dari sisi ekonomi dan juga dari sisi sosial. Upaya-upaya untuk membuat bangunan yang lebih ramah terhadap lingkungan, cocok dari segi budaya setempat serta mampu menekan biaya selanjutnya dikenal dengan desain berkelanjutan (sustainable design). Desain berkelanjutan berupaya untuk mengintegrasikan daur hidup bangunan dengan praktek-praktik ramah lingkungan. Upaya ini diajdikan sebagai sasaran sebuah desain.

Dalam dasawarsa pertama abad ke-21, isu perubahan iklim dan kelangkaan bahan baku alami (natural resources) mengemuka dan menjadi perhatian international. Film yang mengetengahkan iklim yang sedang berubah berjudul An Inconvenient Truth yang berisi kampanye perubahan iklim oleh Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore ramai diperbincangkankarena fakta-fakta kerusakan alam yang dikemukakan (Gore, 2006). Kesadaran internasional tentang perubahan iklim ini sangat berpengaruh pada bagaimana industry desain bangunan beroperasi. Pendekatan-pendekatan yang lebih holistic diupayakan untuk mengatasi dampak perubahan iklim yang diakibatkan, antara lain, oleh penggunaan sumber daya yang tidak terkendali (Droege, 2013).

Pendekatan menyeluruh dalam pelaksanaan pembangunan yang lebih bertanggung jawab harus melibatkan semua pihak yang berkepentingan: perencana, arsitek, developer, pemilik bangunan, kontraktor, produsen bahan bangunan, dan juga agen pemerintah dan non-pemerintah. Untuk meminimalkan pengaruh negative bangunan terhadap lingkungan, strategi pembangunan berkelanjutan menekankan pada efisiensi dan moderasi dalam penggunaan material, energi, dan kebutuhan luasan site. Pembangunan berkelanjutan juga wajib memperhatikan daur hidup sebuah fasilitas dimulai dari tahap perencanaan, pembangunan, desain, konstruksi, penggunaan dan operasional, pemeliharaan, modifikasi bahkan juga wajib memperhatikan proses pembongkaran bangunan. Francis D.K. Ching menggambarkan 3 dimensi pembangunan berkelanjutan sebagai ditunjukkan pada gambar 1 (Ching, 2008).

World Green Building Council (WGBC) yang berkantor pusat di London, Inggris, merumuskan delapan set tujuan membuat bangunan hijau (WGBC, 2020): 1) efisiensi penggunaan energi, air dan sumber daya alam lain; 2) penggunaan energi terbarukan seperti tenaga matahari; 3) berupaya untuk mengurangi timbulnya polusi, sampah dan berusaha untuk melakukan penggunaan kembali dan pengolahan di dalam site; 4) menciptakan iklim di dalam bangunan yang baik; 5) menggunakan material yang tidak beracum, etis dan berkelanjutan; 6) selalu memberi perhatian kepada lingkungan sekitar saat dalam proses desain, pembangunan, dan pengoperasian; 7) memperharikan kualitas hidup penghuni dimulai dari tahap desain, pembangunan, dan operasional; 8) membuat desain yang membuka kemungkinan terhadap adaptasi akibat perubahan lingkungan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 1. Dimensi pembangunan berkelanjutan

Sumber: Ching, 2008

Dari delapan set pemahaman terhadap bangunan hijau tersebut, tujuan-tujuan dari pembangunan berkelanjutan diharapkan akan tercapai. Adapun keuntungan yang hendak diraih dapat digolongkan menjadi: keuntungan ekonomi, keuntungan sosial dan tentu saja keuntungan lingkungan (WGBC, 2020). Secara ekonomi, WGBC melaporkan sederet keuntungan yang dapat diperoleh. Di antara banyaknya keuntungan antara lain: biaya pembangunan dan operasional gedung yang lebih kecil dibandingkan dengan bangunan normal; value ekonomi dari bangunan yang menerapkan green building 7% lebih tinggi disanding kan bangunan biasa; menciptakan lapangan pekerjaan baru dalam bentuk pembangun (builder) dan pengelola (managers) bangunan hijau. Secara sosial, bangunan dengan prinsip-rpinsip yang ramah lingkungan berkontribusi terhadap kesehatan, produktivitas dan kualitas hidup orang yang bekerja di dalamnya. Sementara itu, keuntungannya dari sisi lingkungan tentu saja tidak perlu diperdebatkan lagi: menggunakan lebih sedikit air, hemat energi, berkontribusi terhadap pengurangan kecepatan pemanasan global dan yang lainnya. Dari sisi skala, keuntungan yang diperoleh dirasakan oleh pengguna Gedung, oleh lingkungan sekitar Gedung dan juga dirasakan secara global. Untuk yang terakhir, keuntungaan optimal bagi bumi, akan dapat dirasakan jika prinsip-prinsip ini dilakukan secara global.

 

Pembangunan fisik di Bali DAN KEBERLANJUTAN

Pembangunan fisik kawasan pariwisata di Bali

Dalam 10 tahun terakhir, sejak tahun 2009, jumlah kunjungan wisatawan ke Bali belum pernah mengalami penurunan ataupun stagnasi. Bertambahnya jumlah wisatawan ini memiliki korelasi positif terhadap jumlah hotel yang ada di Bali. Pada tahun 2017 tercatat 4874 hotel berbintang terbangun di Bali. Dari jumlah tersebut, sebanyak 11.30% atau sekitar 551 unit merupakan hotel berbintang. Sebagian besar akomodasi wisata tersebut terletak di Kawasan Bali selatan. Selain fasilitas wisata, kawasan Bali selatan yang mendapat air sepanjang tahun merupakan area paling padat penduduk dibandingkan dengan area Bali Timur, Utara dan Barat yang relative kurang subur. Sejak masa pra-kolonial, Bali Selatan menjadi area yang diperebutkan oleh manusia Bali. Hari ini, berakar pada Kawasan pedesaan, Bali selatan tumbuh menjadi Kawasan urban padat penduduk. Kepadatan ini diperparah dengan tumbuh derasnya akomodasi wisata.

Bangunan-bangunan yang melayani wisatawan umumnya berukuran lebih besar dan membutuhkan lahan yang lebih luas dibandingkan bangunan tradisional. Hal ini berdampak pada meningkatnya kebutuhan energi serta semakin besarnya emisi gas buang yang dihasilkannya.

Pembangunan fasilitas pariwisata di Bali secara massif dimulai sejak tahun 1970-an. Pemerintah memulai strategi pembangunan mass tourism dengan melaksanakan study yang dilakukan oleh SCETO. Dalam laporannya, yang dirilis tahun 1974, lembaga konsultan asal Perancis tersebut berargumen bahwa jejeran pegunungan bali merupakan area hutan yang menyediakan air baku dan juga dipercaya sebagai kediaman para leluhur. Area tersebut tidak boleh disentuh dan harus dikonservasi untuk menjaga kelesatrian alam dan budaya masyarakat lokal. Kehidupan masyarakat tradisional yang tinggal di daerah dataran juga dikhawatirkan akan terganggu oleh aktivitas pariwisata. Untuk itu, pengembangan Kawasan wisata diarahkan pada daerah pantai dengan tetap memperhatikan kelesatrian lingkungan. Berdasarkan atas rekomendasi tersebut, areal-areal tepian air menjadi tempat favorit investor untuk menanamkan modalnya untuk mendukung industry pariwisata. Bangunan-bangunan hotel besar dan permanen dibangun di wilayah Nusa Dua. Berikutnya menyusul Sanur dan Kuta menjadi areal yang disukai. Selain tepian pantai, wilayah-wilayah tepi jurang juga menjadi lokasi yang digemari karena hal ini dianggap tidak akan menganggu pegunungan, sawah dan permukiman orang Bali. Pembangunan fasilitas wisata di dekat area sungai yang curam banyak djumpai di daerah Ubud dan sekitarnya (greater area of Ubud). Awalnya banyak hotel permanen dibangun di Kawasan semacam ini. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan di seputar isu keberlanjutan.

Arsitek diwajibkan untuk selalu menemukan solusi atas persoalan yang ada di dunia konstruksi baik itu untuk memecahkan masalah payback period yang pendek, konstruksi yang mudah dipindah maupun dalam hal menjaga kelesatrian lingkungan dengan cara memendekkan footprint material bangunan. Tantangan utama pembangunan fasilitas pariwisata di Bali, salah satunya, adalah memenuhi kebutuhan terhadap material baru yang dapat diproduksi dengan cepat, mudah dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, mudah dikonstruksi tanpa membutuhkan waktu lama, ekonomis serta, sedapat mungkin, mampu men-generate ekonomi masyarakat sekitar. Respons terhadap kebutuhan investasi dan kelesatrian lingkungan mendorong terjadinya inovasi dalam arsitektur dan konstruksi. Berikutnya, kita akan membahas 2 contoh kasus arsitektur di Bali.

Studi kasus 1: Five Elements Wellnes Hotel

Five elements berada tepat di tepian Sungai Ayung di dekat sebuah Pura Dalem di daerah Mambal. Lokasi awalnya adalah sebuah tegalan yang tidak produktif di dekat sebuah Pura Dalem. Pemilik proyek dan arsiteknya bermaksud merancang fasilitas yang akan menjadi representasi budaya lokal yang berakar pada tradisi Bali, membuat tempat peristirahatan yang nyaman sekaligus sebagai tempat untuk menyajikan hidangan yang ditanam sendiri. Mendekatkan manusia dengan alam menjadi tujuan akhirnya.

Untuk mewujudkan visi tersebut, maka desain fasilitas ini dibuat dengan konsep bangunan hijau. Prinsip-prinsip bangunan hijau yang diterapkan akan diuraikan satu persatu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2. Arsitektur Mandala Agung pada Fivelements Wellness Resort dengan material alami

Sumber: fieldwork, 2020

Pemilihan lokasi dilakukan dengan berhati hati, memperhatikan sumber daya serta daya dukung alami lahan. Arsitek bersama dengan pemiik property memilih lahan di tepian sungai Ayung di atas lahan tegalan yang secara ekonomi tidak produktif. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan dampak bangunan yang akan dibangun terhadap kondisi alami setempat termasuk habitat tumbuh-tumbuhan serta hewan yang sudah ada di lokasi tersebut.

Pertimbangan sosial terhadap pilihan lokasi juga menjadi perhatian. Tim perencana mempelajari peraturan bangunan setempat serta adat istiadat yang berlaku di lingkungan permukiman tradisional yang menjadi tetangganya. Ini penting dilakukan mengingat lokasi property juga bersisian dengan pura dalem setempat. Hal lain yang mendapat perhatian dalam hal sosial adalah jalan masuk ke lokasi yang melewati perkampungan. Jalan yang tersedia dipakai Bersama dengan penduduk sekitar sehingga membuat potensi konflik. Perlu diatur penggunaan agar kedua aktivitas dapat berjalan dengan baik. Untuk itu, bentuk-bentuk transportasi yang ramah terhadap lingkungan juga didorong. Penggunaan sepeda, berjalan kaki dapat mengurangi penggunaan mobil dan sepeda motor.

Meminimalkan footprint bangunan adalah salah satu tindakan menghemat penggunaan sumber daya. Tidak kurang dari sepereampat luas lahan diperuntukkan bagi taman dan kebun yang hijau sehingga tanah masih bias menyerap air hujan. Selain itu, ruang-ruang terbuka juga menyediakan mekanisme pendinginan iklim mikro alami: menyediakan naungan serta memproduksi oksigen. Dengan iklim mikro yang cukup sejuk, maka suhu di dalam ruangan juga turut terpengaruh.

Lokasinya di dekat air bukan berarti hal ini tidak menjadi masalah. Pemanfaatan air justru sangat perlu mendapat perhatian terutama dalam hal pengelolaan limbah serta pemanfaatan sumber air setempat. Di dalam rilis electronicnya, disebutkan bahwa air limbah yang dihasilkan dalam setiap kegiatan di dalam fasilitas ini dibuat agar memenuhi standard international. Pengolahan yang dimaksud termasuk air hujan, air limbah dan air bekas. Kebutuhan air bersih dipenuhi dari sumber setempat. Selain pemanfaatan air dan pengelolaan, air juga digunakan dengan jumlah minimum. Cara yang ditempuh adalah dengan memanfaatkan alat dan fixture yang hemat air.

Energi alami dan terbarukan dimanfaatkan dengan memasukkannya sebagai pertimbangan utama desain. Secara umum, iklim mikro Kawasan relative sejuk dan hal ini dipertahankan dengan cara memberi porsi yang memadai untuk ruang terbuka hijau yang dipenuhi tanaman bsar dan kecil. Dengan iklim mikro yang tidak panas, maka suhu di dalam bangunan juga menjadi minimal. Dengan demikian maka penggunaan penghawaan buatan dapat diminimalkan. Hal ini terlihat dari ketiadaan AC di banyak ruangan yang cukup dilengkapi dengan kipas angin yang ditempatkan di plafond.

Sejalan dengan penghawaan, maka penerangan alami di siang hari juga memaksimalkan cahay matahari. Bangunan-bangunan besar: Mandala Utama, Mandala Madya dan Mandala Alit, semuanya memiliki bukaan di bagian puncak kerucut dan belahan di bagian sisinya. Kedua bukaan ini menyediakan pencahayaan alami dari atas dan dari samping bangunan. Di malam hari, penggunaan lampu LED, yang menghasilkan terang optimal namun lebih hemat energi, diaplikasikan di seluruh fasilitas. Penggunaan energy dipantau melalui alat control yang terpasang di ruang MEP. Sayangnya fasilitas ini belum memanfaatkan listrik dari tenaga matahari ataupun dari gerakan air sungai yang ada di dekatnya.

Material alami dipakai pada hampir semua fasilitas. Bahan-bahan tersebut mulai dari pondasi hingga penutup atap. Sebagian besar material bias dijumpai dari lingkungan sekitar: alang-alang, bamboo, kayu bahkan beberapa material untuk furniture. Penggunaan material alami diikuti dengan proses pengolahan yang minimal dan hamper tanpa finishing berbahan kimia berbahaya.

Setiap aktivitas menghasilkan bahan sisa yang tidak diperlukan lagi dan harus ditanggulangi agar tidak merusak lingkungan. Pengolahan limbah terbaik adalah dengan menyelesaikannya di dalam site, tidak membawanya keluar. Di fivelements, sampah organic diolah menjadi kompos. Sampah non organic dikumpulkan dan diolah kembali.

Limbah cair dalam bentuk air bekas dan limbah dari WC dan kamar mandi diolah dengan mengalirkannya ke kolam-kolam pengolahan. Kolam-kolam tersebut ditanami tumbuhan yang mampu mengolah limbah cair tersebut menjadi air yang bias dipakai untuk menyiram tanaman.

Studi kasus 2: Natura Resort and Spa, Ubud

Mirip dengan Fivelements, Natura Hotel and Spa juga mengambil lokasi di luar wilayah permukiman dan tidak di atas bekas sawah. Popo Danes, yang merancang fasilitas ini, sudah lama menyatakan bahwa ia tidak akan merancang bangunan yang mengorbankan sawah. Lokasi Natura berada di tebing dengan kemiringan yang cukup curam. Membangun fasilitas dengan material beton pastilah akan menggelembungkan biaya konstruksi. Untuk meminimalkan penggunaan konstruksi dinding penahan, sebagian besar pohon yang ada di lokasi dipertahankan karena akarnya secara alami memperkuat tebing, dan akan mencegah longsor. Konsekuensinya, banyak dek-dek yangmenyesuaikan posisi pohon. Hal ini justru menciptakan komposisi yang unik dan menarik dan dapat dimanfaatkan untuk kampanye pemasaran.

Kepiawaian pengolahan site dengan memanfaatkan elemen-elemen yang telah ada membuat Natura diganjar berbagai penghargaan. Pilihan site dan pengolahan desain Natura membuat fasilitas ini tampil menyatu baik dengan alam maupun dengan permukiman di sekiatrnya. Dengan demikian, secara sosial, bangunan-bangunan yang ada di dalam kompleks ini selaras dengan bangunan rumah penduduk yang dapat dijumpai sepanjang jalan menuju ke lokasi. Ia tidak menimbulkan kontras sosial yang dapat menganggu kesatuan lingkungan terbangun.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 3. Bangunan lobby Natura Resort and Spa dengan konstruksi tradisional

Sumber: fieldwork 2020

Dengan mempertahankan sebagian besar pohon, bangunan penginapan dan fasilitasnya mengambil porsi yang relative sedikit. Jika memasuki fasilitas ini, kita akan lebih banyak disambut oleh deretan pepohonan sementara bangunan-bangunan tersembunyi di baliknya. Upaya mempertahankan pohon alami ini juga memberi keuntungan dimana tidak diperlukan penataan lansekap yang sophisticated. Dengan ruang luar alami, maka perawatan, terutama penyiraman dan pemupukan tanaman, menjadi minimal.

Material alami bangunan serta Teknik konstruksinya yang akrab bagi tenaga kerja lokal menciptakan lapangan kerja bagi tukang-tukang setempat. Alang-alang, batang kelapa, kayu dan bamboo merupakan material utama yang dipakai. Material tersebut relative mudah dicari di Bali tanpa harus mengimpor, kecuali beberapa kayu keras seperti jati dan merbau. Dengan demikian, footprint material menjadi pendek. Hal ini sesuai dengan tujuan untuk menghemat penggunaan bahan bakar untuk membawa material dari tempat asalnya ke dalam site. System konstruksi tradisional yang dipakai memberi kesempatan tenaga kerja lokal untuk turut berperan serta dalam proses pembangunannya. Ini juga berarti menghemat penggunaan bahan bakar untuk mengangkut pekerja jika tempat tinggalnya jauh. Meskipun tukang berasal dari daerah sekitar, hasil pekerjaannya sangat baik karena bangunan yang dibuat sesuai dengan keahlian mereka.

Material-material yang dikonstruski secara tradisional, awalnya, tidak banyak mendapat finishing pelapis berbahan kimia. Tetapi seiring berjalannya waktu, Nampak beberapa bagian mulai dilapisi prada berwarna emas dan kayu-kayunya dipelitur. Menurut manager on duty yang sedang bertugas saat observasi dilakukan, arsiteknya tidak menyukai finishing baru yang dilakukan oleh pengelola dan pemilik bangunan. Finishing baru yang dilakukan di luar visi yang hendak dikembangkan oleh Popo Danes selaku perencang fasilitas dan pemilik pertama Natura Resort and Spa ini.

Tantangan besar yang dihadapi oleh bangunan-bangunan yang ada di resort ini memang adalah daya tahan material. Bahan-bahan alami yang dipergunakan memiliki umur pakai tertentu. Jika tidak diperlakukan dengan tata cara pengawetan yang baik, maka mereka akn mudah rusak. Hal inilah yang nampaknya tidak diinginkan oleh pemilik dan pengelola yang baru. Usia ekonominya harus dibuat panjang agar dapat memberi keuntungan yang lebih banyak lagi. Upaya yang dilandasi keuntungan ekonomi ini seringkali mengalahkan visi yang ditetapkan sejak awal.

Strategi penghematan energi dilakukan dengan cara desain pendinginan pasif. Selain kamar tidur yang bersifat privat, nyaris semua ruangan dirancang terbuka. Rancangan serba terbuka memberi peluang agar udara dapat mengalir bebas menembus ruang-ruang restaurant, teras-teras terbuka, lobby, ruang tunggu dan ruang-ruang spa. Aliran udara yang bebas menciptakan ruangan dengan kenyamanan thermal yang memadai. Dengan cara ini, maka penggunaan energi listrik untuk menciptakan iklim indoor yang nyaman dapat diminimalkan.

Selain untuk pendinginan, energi untuk penerangan di siang hari juga dirancang agar memperoleh angka minimal. Ruang-ruang yang terbuka lebar serta jendela-jendela lebar memberi penerangan optimal ke dalam ruangan. Lantai yang berbahan marmer juga membantu menjadikan ruang dalam terlihat terang.

Hal yang paling sulit dalam pengelolaan fasilitas wisata di daerah-daerah terpencil adalah urusan limbah. Setiap pemilik yang memiliki komitmen tinggi harus memikirkan agar bahan sisa dan bekas tidak mengotori atau membebani lingkungan sekitar. Hal ini telah pula dipikirkan oleh pengelola fasilitas ini.

 

KESIMPULAN

Teknologi membantu manusia dalam menjalani kehidupan. Ia menyebabkan kita semakin udah bepergian, membantu mengirimkan material untuk membangun dari wilayah-wilayah yang jauh, membuat malam hari menjadi terang atau membuat daerah-daerah yang panas menjadi dingin dan sebaliknya. Teknologi yang tersedia saat di bidang industry bangunan saat ini membantu manusia dalam banyak hal.

Akan tetapi teknologi yang semakin berkembang saat ini membutuhkan energi yang sangat besar. Untuk memproduksi energi, diperlukan upaya-upaya yang tidak kecil. Sayangnya banyak upaya produksi energi tersebut yang mengandalkan bahan bakar fosil dalam bentuk minyak, gas bumi dan batu bara. Bahan bakar ini jumlahnya terus berkurang karena mereka tidak mampu dibuat lagi. Konsumsi hari ini yang mengurangi generasi masa datang untuk memenuhi kebutuhannya di masa depan adalah pola yang tidak berkelanjutan.

Di bidang rancang bangun, banyak fasilitas baru yang dibangun di atas sawah atau lahan produktif. Pola ini menyebabkan terjadi pengurangan luas sawah, mereduksi produksi beras, mengurangi peluang generasi mendatang untuk mewarisi budaya Bertani. Beberapa arsitek berupaya untuk menghindari pola membangun yang dapat mengurangi jumlah sawah. Akan tetapi fasilitas yang mereka bangun masih terbatas pada bangunan untuk wisatawan. Perlu dipikirkan pola membangun serupa di bidang penyediaan perumahan untuk masyarakat umum. Masihkan kita akan mengijinkan pembukaan lahan sawah sebagai lahan perumahan?

Upaya lain dari beberapa arsitek adalah menggunakan lagi material dan teknologi lokal. Akan tetapi persoalan yang sama berulang. Pemilihan bahan dan system konstruksi lokal lebih banyak diterapkan pada hotel, restaurant atau villa. Sementara untuk bangunan rumah tinggal, toko, ruko, dan fasilitas perkantoran masih bangga dengan material impor dengan teknologi konstruksi yang mengandalkan beton dan kaca.

Imaji bahwa bangunan lokal (material, teknik konstruksi, bentuk dan fungsi) sudah tidak relevan perlu diperbaiki. Imaji inilah yang menyebabkan semakin menurunnya minat orang membangun dengan cara-cara tradisional. Padahal, menurut banyak penelitian, bangunan lokal justru memiliki banyak keunggulaan karena nilai-nilai kesetempatannya ( (AlSayyad & Bourdier, 1989). Menjadi tugas peneliti dan akademisi untuk membuktikannya secara ilmiah, lalu ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan membuat peraturan yang memadai dan dilaksanakan oleh arsitek-arsitek yang berkomitmen tinggi terhadap keberlanjutan. Hal ini harus direspons pula oleh industry penyedia bahan dan juga pemasar arsitektur. Dengan kata lain, perlu keterlibatan semua pihak.

 

 

REFERENSI

Adam, R. (2013). The Globalisation of Modern Architecture : The Impact of Politics, Economics and Social Change on Architecture and Urban Design since 1990. Newcastle upon Tyne: Cambridge Scholar Publishing.

AlSayyad, N., & Bourdier, J.-P. (1989). Dwellings, Settlements and Tradition. New York, Lanham, London: University Press of America.

Burdett, R., & Sudjic, D. (2011). Living in the endless city. Phaidon: London.

Ching, F. D. (2008). Building Construction Illustrated. Hoboken, New Jersey: John Wiley & Son.

Droege, P. (2013). One Hundred Tons to Armageddon: Cities Combat Carbon. In G. Bridge, & S. Watson, Blackwell Companion to the City (pp. 108-120). Oxford, London: John Wiley & Son Ltd.

EPA, E. P. (2013). Sustainable Design and Green Building Toolkit. -: EPA.

Gore, A. (2006). An Incovenience Truth:P The Planetary Emergency of Global Warming and What We Can Do About It. Emmaus, Pennsylvania: Rodale Press.

Hopkins, R. (2020, 2 22). A Natural Way of Building. Retrieved from Transition Culture: https://www.transitionculture.org/essential-info/articles/a-natural-way-of-building-2002/

Jarzombek, M. (1999). The Disciplinary Dislocations of Architectural History. Journal of the Society of Architectural Historians, 489.

Jarzombek, M. (2003, Winter). Sustainability-Architecture: between Fuzzy System and Wicked Problems. Blueprints, XXI(1), 6-9.

Pushkar, S., Becker, R., & Katz, A. (2005). A methodology for design of environmentally optimal buildings by variable grouping. Building and Environment, 8(40), 1126-1139.

Sassen, S. (2005). The global city: introducing a concept. Brown Journal of World Affairs, XI(2), 27-43.

UNHABITAT. (2017). State of the world’s cities. New York: UN Habitat.

WCED, W. C. (1987). Our Common Future. Oxford, New York, Singapore: Oxford University Press.

WGBC. (2020, February 12). World Green Building Council. Retrieved from About Green Building: The benefits of green building: https://www.worldgbc.org/benefits-green-buildings

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Exploring the Architectural-identity of Bali Post Hasta Kosala Kosali

disclaimer: This article has been published in Journal of Architectural Research and Education, Vol. 1, No. 2 (2019)

To cite please visit: https://ejournal.upi.edu/index.php/JARE/article/view/22309

Abstract

As the product of culture and the background of human activities, architecture that constructs place-identity are in a state of constant modification. This paper explores the dynamic development of architecture of a vernacular landscape since the time when external power of colonialization introduced new ideas, techniques and construction methods to the more traditional know how. A case study in Bali is analyzed through historical research involving document and policy analysis, in depth interview with key informants, observation and building surveys. The result shows that prior to colonization era, the island was developed based on local building codes called Hasta Kosala-Kosali that is written on traditional lontar leaf manuscripts. New political system as well as business interests are two main factors influencing the transformation of architectural-identity of the island in the colonial and post-colonial era to date. The physical identity is among the main charms of the Island of Bali. In order to maintain the attractiveness of the island, the public and private sector should work together with the community in establishing policies regarding the physical development of Bali.

Keywords: Architectural identity, tradition, post-colonialism, hasta kosala-kosali

INTRODUCTION

Place -Identity has become the axis of architectural debate in Bali lately. We often hear criticism about new identity-oriented development which is feared to erode the culture of local architecture. Something that actually has emerged since more than 100 years ago since professional architects began to open the practice of architecture in the area we now know as the Republic of Indonesia (Cote & O’Neill, 2017) (Passchier, Building in Indonesia 1600-1960, 2016). The roles of architects and non-traditional government administrators can unconsciously encourage transformation that undermines the traditional roles managed by the customary government system in shaping identity.

The debate emerges because place-identity is not only formed by physical components but also human perception (Watson & Bentley, 2007) (Sepe & Pitt, The characters of place in urban design, 2014) (Sepe, 2013). Perception of one or a group of people can be different from humans or other groups. This difference in perception is influenced by many things such as cultural background, experience, level of education, age and even gender (Jenkins, 1996) (Sepe, 2013). In addition to different groups, perceptions can also change over time so that the same person or group of people can have different perceptions of an object at different times (Southworth & Rugerri, 2010). Inequality of perception in seeing identity among space-creating actors: policy controllers, architects, investors triggers discourse. On the other hand, when the place-making process is dominated by the government and/or business, the community as users of space feel they do not have enough power to be involved in the process of space transformation (Madanipour, 2013).

Today, architecture in the region known as Indonesia is syncretism from traditional architectural cultures, colonial architecture, nationalism expressions and also the insistence of modern currents that accompany investment (Pearson, 1998) (Tjahjono & Miksic, 2003). Most areas in the west of the country experienced acculturation with architecture from India, Arabia and subsequently experienced European colonialism. In the East, parts of the region were once under the influence of the Portuguese, Spanish and Dutch. The history of trade and the conquest of these areas gives color to the local architecture (Tjahjono & Miksic, 2003). Transfers of investment and capital that occur without boundaries today also affect identity transformation (Kusno, 2000).

Research on traditional architecture of Bali has been started in the early period of the 20th century. W. O. J. Nieuwenkamp, a Dutch painter and artist, pioneered the publications of the island’s built-environment characters (Nieuwenkamp, Bali en Lombok, 1910) (Nieuwenkamp, 1910). He captured numerous buildings and sculptures that fascinate him during his stay in Bali in beautiful drawings. Later on, a Dutch architect, P. A. J. Moojen was commissioned by the Netherlands Government to document the damage of traditional buildings in Bali after a massive earthquake on the island. His documentation published as a thick book full of images of traditional architecture of Bali (Moojen, 1926). The legacies of the Dutch’s artist and architect were continued by Tan who studied the architecture of Bali’s traditional houses (Tan, 1967). The study conducted by Tan opens the door for further studies by local architects and researchers in Udayana University (Sastrowardoyo, 1987) (Gelebet, 1984). Numerous studies have been conducted since the 1980s to date particularly by academics at Universitas Udayana. However, the majority of those research were focusing on digging the roots of traditional architecture that were assumed as meaning creator. The texts on lontar Hasta Kosala Kosali were commonly referred as the main sources. Investigation on the development of the architecture on the island after the period of hasta kosala-kosali was rare.

The paper aims to answer some questions as follow: how the tradition of Balinese architecture is sustained as the last island subdued by Europeans and now one of the international investment destinations? What are the effects of the encounters with Europeans on architecture? How did the nationalism movement in the early 1950s of Indonesia influence architectural-identity? Does the wave of tourism help to preserve or actually weaken the Balinese architectural-identity? Can traditional value and loyalty to the physical character of this island be maintained?

Limited resources and information are the main shortcomings of this kind of search. However, it is endeavored wherever possible that the sources used are valid. Besides that, what needs to be put forward in this kind of writing is the framework that is built. Data that has not yet been collected can be entered and validated later into this framework. In addition, it is not easy to break down a hundred years long history into a concise article. For this reason, all shortcomings belong to the author.

METHODOLOGY

This study focused in the development of architectural-identity of Bali in the 20th century when the island received influences from many directions. The timeframe was chosen because it proved to be the starting point of identity debate. The changes in political system from kingdom to colonial; from colonial to the rise of nationalism; and from nationalism to the time of market rule, are all impacted physical setting (Nordholt, 2011) (Kusno, 2013).

Built-environment consist of many components that are link to one another in a complex system. The components are created and being created within its lifespan by the occupants where the interaction between the human and their physical world involves evaluative process. Changes in people’s way of life influence the design of their physical world and vice versa. Urban morphology suggests that the study of the development of a built environment can be done by evaluating its socio-economic and political dimension in addition to its physical elements (Whitehand, 2012) (Kropf, 2009) (Whitehand, 2009).

In urban morphology, the development of city is analyzed in relation to time and event. A major event in a particular time may lead to major change of the physical components of the city. Therefore, the analysis includes major events occurred in Bali.

Events occur only with the involvement of human. To discuss the events and the changes they caused, it is important to discuss urban actors. Each actor plays role, no matter how small, that influence the change in the city. Different roles of urban actors were also considered in the analysis of this paper.

Archival analysis, interviews and fieldwork were conducted to ensure the validity of all information gained.

From the events and the role of different actors, the analysis of the architectural identity of the island of Bali could be discovered.

 

TRADITIONS OF BALINESE ARCHITECTURE AND PLACE-IDENTITY IN THE PRE-COLONIAL PERIOD

Traditional Balinese people see themselves as an inseparable part of the place where they live. They believe in living in harmony with the workings of the universe. Natural elements are always taken into account in the efforts of the community to organize, set goals and give meaning to the life traditional people lead. Mountains and oceans, the movement of the sun, moon and star composition, direction of the wind, river flow and other elements are constructed in such a way as to become symbols of the cosmos (Gelebet, 1984) (Sastrowardoyo, 1987). Mysteries regarding birth, death, and soul journey also form the core of the traditional belief systems of traditional societies. Traditional knowledge gained from observation and understanding of nature and how it works is referred to as cosmology (Oliver, 2007)

The cosmological construction of Balinese traditional society is formed by the mountain-sea axis and the setting sun. In addition, the world is also believed to be composed of three layers: top, middle and bottom (Eiseman, 1990). From this understanding, buildings that are considered important are placed in higher areas and in the direction of the rising sun. Buildings with low values are placed in the opposite direction, while residential buildings are in between (Sastrowardoyo, 1987). Without realizing it, an understanding of the importance of maintaining the mountain area as a store and provider of water for agriculture and awareness of the possibility of the eruption of the mountain.

The building construction system is made with a frame structure with the material used arranged according to its position. Stones and clay are placed at the bottom or feet while wood and bamboo are used as construction materials for space or building bodies. The roof makes use of leaf material, both reeds and coconut leaves. Material should not be reversed: the lower part of the wooden or bamboo culm should not be placed on top (Gelebet, 1984). Practically, this kind of construction knowledge makes the building stable over the earthquake zone. The people, the built-environment and the natural world are all blended in (Kersten, 1947).

Because it is constructed by local people in accordance with geographical conditions and local beliefs and ways of life, traditional settlements are physically and culturally compatible with nature and the human inhabitants (Bourdier & Alsayyad, 1989) (Helmi & Walker, 1995). The application of cosmology creates an emotional connection between humans and the place where they live. This emotional connection forms the identity of the settlement.

The stability of this identity is guaranteed by the process of transmitting local knowledge from one generation to the next. In the process of transmission, modification and innovation occur in accordance with the development of traditional society (Bourdier & Alsayyad, 1989). The process of transmitting Balinese architectural knowledge was assisted through the writing of these sciences on the lontar Hasta Kosala Kosali and Hasta Bhumi.

COLONIALISM: EARLY MEETINGS OF BALINESE AND WESTERN ARCHITECTURE

Identity stability is challenged when cosmological knowledge is challenged by new sciences that do not originate from understanding local nature. In addition, the management of residential areas is no longer in the hands of local communities, but in the hands of the formal-administrative government. The influx of outside investment also influences and dictates the creation of space. The initial challenge to identity stability came when Bali was conquered and managed by the Dutch Colonial Government. Before conquering Bali, the Dutch multinational company, the VOC, exploited the natural resources of the Indonesian archipelago. The bankruptcy of the VOC forced the Colonial Government to invite international investors to open businesses in the colonies. Together with investors, the first non-traditional architects came to the Dutch East Indies (Passchier, 2016).

The conquest of Bali began from Buleleng in 1849. Buleleng was a strategic area because it had ports connected with islands in the western and eastern regions of the Dutch East Indies. In addition to serving the distribution of goods, the port is also an entry point for new knowledge flows. Next Badung and Klungkung surrendered respectively in 1906 and 1908. Since then, the role of the kings began to be reduced and a new system of government was introduced (Ardhana, 2019). The market in the city center is connected directly to the port to facilitate the distribution of goods. Community organizations are organized into structures based on ethnicity. These political, economic and social changes have resulted in an overhaul of the physical form of the city center. Central government and economic center are separated. Likewise, settlements of different ethnic populations are placed in different locations. Each group occupies a different area so that European settlement areas emerge with the best facilities, Chinatown and Arab clusters near the market, native environment which is spread outside the downtown area. This new city structure corrects traditional cosmology based on the principles of locality and culture.

To accommodate new activities, many non-traditional buildings which are founded with the main characteristic of thick walls function as bearers of the roof which are covered with white paint. Most of the material is imported from Java and even Europe including clay tile. All development matters are left to the Department of Public Works (BOW) while the government only applies safety and comfort standards (Passchier, 2009). This denial of local knowledge, construction, and material makes European government areas and settlements contrast with the indigenous environment of local communities that are still managed and led by traditional communities. In addition, ethnic Chinese and Arab communities apply their respective cosmologies. As a result, in the colonial period cities in Bali were transformed into heterogeneous cities.

THE DEVELOPMENT OF ARCHITECTURE IN THE PERIOD OF ETHICAL POLICY

The currents of southern Bali’s more rapid modernization began with the connection of the northern and southern regions of the island by roads built in the 1920s (Wijaya, 1984). This makes it easy for the government to take crops and bring them to the port and, conversely, bring modern goods to be marketed in the local market. Ports and markets that distribute goods from outside the region become the center of the economy while encouraging the modernization of Bali.

The exploitative patterns of colonialism, one of which was aimed at the pattern of the conquest of Bali which resulted in many victims, was criticized in the Netherlands (Vickers, 2012). This forced the Colonial Government to adopt a new policy that put the local people and culture in a better position. In Bali what is referred to as Baliseering is implemented in an effort to maintain and develop Balinese-based culture (Picard, 1997). Supported by port infrastructure in Buleleng and roads, the Colonial Government introduced tourism to place Bali and its people as subjects.

Image 2: Bali tourism map

Redrawn from: De Vries & Co: Netherlands indies tourist map

Because government buildings were carried out by the Department of Public Works, the initial tourism accommodation buildings were not far from the modern style buildings of the time. The guesthouse was built in Gitgit, Kintamani and in other areas including Klungkung to serve tourism. In Denpasar a hotel was built by the shipping company KPM (Akihary, 2006). The design and workmanship were carried out by the firm Algemeen Ingenieurs- en Architectenbureau (AIA) which was founded by F.J.L. Ghijsels. This building, perhaps, was the first to use professional architects in Bali. The architectural design that is applied does not take references from local cosmology but emphasizes functionality.

In addition to the KPM company, Bali tourism is also desired by individuals such as: M. J. Minas (an Armenian entrepreuner), Andre Roosevelt, Thomas Cook (Vickers, 1994) and some locals namely: Patimah and the king of Ubud. The last was initially only wanted to get along and become part of the international community. For this purpose, many foreigners were invited to his castle including Walter Spies in 1928. Spies’ interest in Balinese culture brought him to mingle with local residents and artists. With the local knowledge he mastered, Spies was one of the earliest critics of modern buildings in Bali (Stowel, 2012). He made scathing comments on almost all buildings of the Colonial Government. For him, these buildings are not suitable to be built in Bali. As a comparison, he built his house with a local architectural approach on a grant land from Ubud King.

In contrast to government employees who are reluctant to mingle with local people, Spies actually drowns himself as part of the local community. Perhaps this is where he gained knowledge of traditional architecture and put it into his home architecture. This building is a clear opponent of government buildings that use brick walls bearing the roof, painted white, tile roofs. The pavilion is a place to stay for Spies guests and early tourists, the forerunner of a boutique hotel that has recently become a trend.

Long before Spies came to Bali, architect P.A.J. Moojen, on orders from the Kingdom of the Netherlands, conducted a survey of buildings in Bali after the 1917 earthquake. The results of his study are summarized in the book Kunst op Bali (Moojen, 1926). Unfortunately, Moojen did not have the opportunity to design and build in Bali. The opportunity to build actually came when the Colonial Government assigned him as an architect for the pavilion of the Dutch East Indies at the International Colonial Exhibition in Paris in 1931. Together with Sweedijk, his colleague who was also an architect, Moojen designed the pavilion with the hybrid architecture of Bali and Batak. This spectacular pavilion received wide appreciation while attracting even more people to come to Bali.

Awareness of the importance of local culture then spread to government employees where in the early 1930s began to build a Balinese museum in the center of Denpasar City (Ardhana, 2019). The museum was pioneered since 1910 and the decision to build with a traditional approach comes from discussions with Spies and an architect-anthropologist from Germany who were doing research in Bali. The limitations of traditional architectural knowledge were solved by working with local undagi. Two undagi originals from Denpasar, I Gusti Ketut Rai and I Gusti Ketut Gede Kandel, were directly involved in the construction of this museum. The Bali Museum was the first to be built by the government with a local style and involving local workers. Among the local people, this museum is popularly known as Pura Kantor, referring to its temple-like shape and shelter function, in addition to the museum, administrative activities.

Utilization of local architectural images is also applied to other museums in Ubud where a group of artists who gather themselves in the Pitha Maha association initiates a museum. The aim is to protect the works of the best local artists from the harmful trade in art (Couteau, 1999). The design, which was done by the painter Rudolf Bonnet, was probably inspired by the shape of a continuous saddle roof that can be found in the Old Bali Village area, Tenganan.

The colonial period is a time when traditional architecture is transformed into a container of non-traditional activities. no longer limited as a residence and place of worship, Balinese architecture at that time accommodated the functions of lodging, offices and museums. This happened after the awareness of the importance of maintaining Balinese culture which grew among non-Balinese people.

MODERNIZATION AND ARCHITECTURAL NATIONALISM

The Dutch Colonial Government did not have enough time to continue the successful application of local architecture in the buildings they made. About ten years after the founding of the Bali Museum, Japanese troops came to replace the leadership in Bali. The Japanese occupation lasted for a relatively short period of time, approximately 3.5 years. The Colonial Government had come back after the occupation but in 1950, Bali joined the Republic of Indonesia which was proclaimed by Sukarno. Under the new government, architecture and spatial planning in Bali again underwent a transformation.

Sukarno was well aware of the diversity of elements that made up the Republic of Indonesia. Indonesia’s first president made use of urban architecture and design to shape the vision of a sovereign, developed, and free state of colonialism (Kusno, 2000). Modern principles are applied to describe progress while uniting cultural diversity. Steel and concrete, a marker of modern architecture at that time, became the norm in every facility that was built. However, in order to escape from colonialism, Sukarno also used local symbols such as the modified Lingga Yoni. At the local level, he encouraged the people to maintain and promote culture without having to imitate the legacy of the Colonial Government. This new country, at that time, was looking for recognition. Architecture, in addition to national language, anthem and other materials were used to formed what Benedict Anderson called ‘imagined communities.’ The members of the community may never meet with one another but they develop a sense of nationalism (Anderson, 1998).

The current of optimism in welcoming the glorious modern future aspired by Sukarno spread to architecture at the local level. The ‘progress’ vision is represented by the community by adopting non-traditional forms and materials to be applied to traditional buildings. This is in contrast to the colonial period which made use of traditional architecture to accommodate modern functions. the expansion of modern styles in the 1950s to the 1970s, assisted by craftsmen who had experience building colonial government buildings (Wijaya, 1984).

Modern post-colonial architecture is also rife in many other cities in Indonesia as confidence develops to become modern. Politically, architectural identity is used to build a sense of unity, overcome differences and foster optimism for the people of Indonesia for a more glorious future.

NEW AGE TOURISM AND EMERGENCE OF ARCHITECTURE ‘BALI STYLE’

The motives for developing tourism in the early independence era were aimed at building an identity, in contrast to the economic motives of the colonial government. Bali, which at the beginning of the 20th century had received international exposure, was used by Sukarno as one of the display cases to show the progress and superiority of Indonesian culture (Coast, 2004). A very large new hotel of its time, the Bali Beach Hotel, was founded in the Sanur Region in 1963 (Robson, 2002). Its architecture was adapted to Sukarno’s modern vision.

Before the Bali Beach Hotel was built, the Sanur area was inhabited by a number of smaller scale lodgings. The presence of a new hotel with a shape and size that is so massive invite attention and criticism. Wija Waworuntu, an oriental interior collector and businessman, and Donald Friend, an Australian-born painter, were disturbed by the modern architecture of the Bali Beach Hotel. As an alternative, they renovated the Tandjung Sari small inn owned by the Wija family in a different style. Material, ornament and local construction are applied to create an area that will welcome this guest (Darling, 2012). The adoption of this tradition has succeeded in becoming an iconic lobby.

In their hands, a vision to develop Balinese tourism by utilizing local architectural knowledge was the focus. Friend and Wija opened up new land and invited Australian architect Peter Muller to come to Bali. Its main mission is to build comprehensive tourism facilities that fully utilize the knowledge of traditional Balinese architecture. Detailed studies of Balinese architecture were carried out and the results were translated into the Matahari Hotel proposal in 1970 (Robson, 2002). The design represents a traditional village complete with a banyan tree and commercial facilities similar to a village market. Muller made a little compromise by turning the whole complex, not purely following the mountain-sea axis, so that all rooms had a beach view. The lobby building adopts the wantilan structure while the hotel rooms are equivalent to residential houses with angkul-angkul as the entrance.

Not only for Wija and Bawa, the design contained in the Matahari Hotel proposal invites appreciation from a wide audience in the tourism business. Unfortunately the popularity of Peter Muller’s design failed to help this project to obtain funding. Various problems, especially the world economic conditions which were lethargic at that time, might be the reason.

 

The Matahari Hotel Proposal, in terms of design, proves that traditional knowledge has vast possibilities to be developed into non-traditional facilities. This is inherent in the minds of many people, especially investors, so that Peter Muller enjoys his popularity. This ‘success’ led to the next several assignments in Bali, with the traditional architectural adoption approach, including: Kayu Aya (1973), the Oberoi (1977), to the hotels of the Aman group.

The Matahari Hotel Proposal proves that Balinese architectural identity can be capitalized to obtain economic benefits. The failure to collaborate with Muller brought Wija and Friend to the next collaboration with Geoffrey Bawa. Bawa is more interested in the architecture of individual buildings compared to the arrangement of a traditional village. This can be seen in the design proposals produced, in the form of the Batu Jimbar complex which emphasizes the architectural quality of each villa. At almost the same time, on the land where Matahari Hotel was originally going to be built, the Hyatt Hotel was built by a Hong Kong corporation. Wija and Friend provided input so that the elements of traditional architecture were applied to designs that initially seemed entirely modern.

Starting with the Matahari Hotel proposal, the adoption of traditional Balinese architecture into tourist accommodation facilities seemed to be the architectural norm in the late 1960s to the late 1980s. This design approach creates what is referred to as ‘Bali Style’ (Helmi & Walker, 1995). This is proof that the local architectural identity with its romanticism has an economically privileged position.

BALINESE-MODERN OFFICE ARCHITECTURE

The government is worried that the massive development of tourism at that time, besides being economically profitable, could cause damage to the natural and artificial environment in Bali. Sponsored by the central government, a massive tourism development study was conducted by the SCETO (Societe Centrale pour l’Aequipment Touristique Ouetre-Mer). In its study published in 1974, SCETO recommended a number of important things with the aim of avoiding Bali from the social, natural and cultural damage that might result from tourism development (SCETO, 1974). One of them is formulating a general tourism development plan (masterplan) that focuses on efforts to maintain cultural and natural excellence and prefers a strategy of developing quality tourism or limited but quality tourism. In line with these efforts, as well as to guide the construction of new facilities in Bali, in 1974 the government issued three sets of local regulations, Perda no. 2, 3, and 4, to regulate physical development in Bali.

In addition to buildings for tourism, the early independence period was also filled with the rush of government office projects in Bali. These projects are generally carried out by Indonesian and also local Balinese architects. In Jakarta, the early generation graduates of the Bandung Institute of Technology’s architectural program took on many roles. The dropout from these government projects enlivened the development of Indonesia’s non-traditional architecture, one of which was Robi Sularto and his colleagues who were members of the Atelier 6 firm.

In accordance with SCETO’s recommendation, the government built a hotel in Nusa Dua that was designed by the office of PT. Atelier 6. In layout, the hotel takes the traditional philosophy of trimandala but is manifested in the form of a multi-storey modern building. Building materials and modern construction systems such as concrete, steel and glass continue to be applied. Traditional ornamental ornaments in the form of carvings as well as the bale kulkul and the Candi bentar ‘only’ are complementary. The result, a hotel with local ambiance without taking the full form of traditional Balinese buildings. The hotel is considered successful in negotiating between modern, in accordance with the vision of advanced Indonesia, and tradition, as a cornerstone of architecture. Since that time the central government recommended that all offices be built with regard to the culture of the local building. Unlike in pre-colonial times, architectural identity at this time no longer happened by chance but was designed to be able to be a representation of the nation.

In Bali, this ‘designed’ identity is transformed into government office buildings where Robi Sularto takes a lot of roles. Furthermore, local architects began to grow thanks to the opening of the department of architecture at Udayana University, where Robi was one of the initiators. One thing worth mentioning is Ida Bagus Tugur, an artist who has not received formal architecture education. His expertise in processing and transforming ideas into building forms led him to become one of the extraordinary lecturers at the Department of Architecture at Udayana University. Since the late 1960s he began to be heavily involved in physical development projects. His knowledge of puppet stories is a strong foundation in his architectural works (Putra, N, 2015). Tugur received many assignments from local governments in Bali both at the provincial and district levels to design offices. The idealism of wayang stories is forming the identity of architecture in the hands of Tugur. What is unique about office architecture is its focus on figure and ornament. We rarely encounter office architecture that uses cosmological considerations as an effort to create a micro climate in the room and disaster mitigation

Between the 1970s and 2000s, architectural identity in Bali was segmented into two: tourism architecture that sought to explore the values of traditional romanticism, and office architecture that sought to meet modernism. This segmentation was formed by two big capitalists, namely private and government investors. In most societies, architecture is still an ‘expensive item’ so its development does not have a major influence on the development of identity in general.

FUTURE BALINESE ARCHITECTURE, LIKE WHAT?

In the 2000s to this day began to emerge individuals who financially have the ability to assign architects to design the house or residence. This enriches the treasury of architectural styles on the island of Bali. In addition, markets formed by private and government investors continue to be magnets. The flow of Balinese architectural identity is now shaped by these three forces, but each has specifications that make it possible to break into smaller branches.

We have seen that identity transformation is shaped by changes in social, political and economic values. Today, the people who inhabit this island have become heterogeneous socially, no longer just holders of Hindu-Balinese beliefs, so cosmological perceptions are very diverse. Traditional government no longer holds absolute control over its territory since there is a national government that can intervene in the creation of space at the local level. The influence of the central government can be very strong as happened at the beginning of independence. In addition, the economy has been transformed into lingua franca every activity of modern humans. This also applies in the field of architecture. Buildings that can make money become strong investment magnets. The transformation of social, political and economic values, aided by technological developments, took place so rapidly that architectural styles also changed rapidly. However, in the midst of these rapid changes, there are cultural components that remain as the backbone that can be used as a handle. The component is the geographical situation of the island of Bali and how it is translated so that humans are able to live in harmony with it.

Knowledge of the efforts of traditional societies to be in harmony with the workings of nature that shape this tradition is forgotten in the midst of the hustle and bustle of identity politics that prioritizes form and ornament. Efforts to mimic form will never be able to give value to tradition, because it assumes architecture has been frozen in the past. Such a view can result in architecture becoming a rigid artifact. Or perhaps this happens because we have failed to translate the workings of nature that successfully shaped the traditions of the past? Or fail to find the universal values of the tradition that consider it threatened by other values? We are afraid that the translation that has been done by the ancestors will fade by the translation made by the ‘outside’? This kind of fear is actually dangerous because it can lead us to the nature of excessive chauvinism, viewing traditional architecture as dogma.

CONCLUSION

Architecture is among the component that construct place-identity. It has long been utilized to attract tourists although its main function is to create a sense of home. In a place where people sense a feeling at home, many argued they will develop positive attitude toward the environment and to their fellow human (Relph, 1976).

Place-identity, however, is not static but dynamic. This paper showed that in Bali, architecture, the component of place-identity, has been developed by different actors in dissimilar socio-political setting to achieve different objectives. In the pre-colonial period, the architectural-identity of the island was strongly linked with the natural landscape and guided by the implementation of the Hasta Kosala-kosali manuscript. Dramatic change occurred in the colonial period when western idea of built-form was introduced. Although the colonial government enjoyed the modern building process, the new identity emerged with the new political system was criticized.

In the 1960s onward, the architectural identity of the island was romanticized by the development of tourism. The identity at this time was confronted with the intention of the central government to strengthen the nation pride by means of modern architecture.

Today, in the age of global tourism, architectural-identity continues to find its significance. Visitors of the island are coming to seek for new experiences. The intention to defend unique place and architectural identities is driven by economic motifs.

Then what is our biggest challenge today?

For me, the biggest challenge is finding the universal value of our tradition that stems from efforts to live in harmony with the character of the island of Bali and to continue this understanding into the workings of the buildings we make today with all the consequences. The consequences that may arise are a matter of correcting architectural education patterns in order to be able to continue, not merely perpetuate, the inheritance of traditional knowledge; planting more trees that can be used as building materials, protecting water sources so that agrarian culture is not lost, and disaster mitigation.

 

Works Cited

Akihary, H. (2006). Ir. F. J. L. Ghijsels: Architecture in Indonesia. Alphen aan den Rijn : Seram Press.

Anderson, B. (1998). Imagined Communities: Reflections on the origin and spread of nationalism (Revised edition ed.). London: Verso.

Ardhana, I. K. (2019). Denpasar: Perkembangan dari kota kolonial hingga kota wisata. In F. Colombijn, M. Barwegen, P. Basundoro, & J. A. Khusairy, Kota lama kota baru: Sejarah kota-kota di Indonesia (pp. 377-396). Yogyakarta: Ombak.

Bourdier, J., & Alsayyad, N. (1989). Dwellings, settlements and tradition: Cross-cultural perspectives. Lanham: University of Minnesota.

Coast, J. (2004). Dancing out of Bali, first published in 1953. Singapore: Tutle publishing.

Colombijn, F. (2006). Planning and social tension in Indonesian cities. Global Bioethics, 19(1), 73-84.

https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/11287462.2006.10800886

Cote, J., & O’Neill, H. (2017). The life and work of Thomas Karsten. Amsterdam: Architectura & Natura.

Couteau, J. (1999). Museum Puri Lukisan Ubud. Ubud: Yayasan Ratna Warta.

Darling, D. (2012). Tandjung Sari: A magical door to Bali. Singapore: Edition Didier Millet.

EFD, P. S. (1935). Verkoopster van etenswaren op Bali. KITLV 1400177. Leiden, Leiden, Netherlands. Retrieved 2019, from http://hdl.handle.net/1887.1/item:776418

Eiseman, F. B. (1990). Bali: Sekala and niskala: Essays on relogion, ritual and art. North Clarendon: Tutle Publishing.

Gelebet, N. (1984). Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Jakarta: Depdikbud.

Helmi, R., & Walker, B. (1995). Bali Style. London: Thames and Hudson.

Jenkins, R. (1996). Social Identity. London: Routledge.

Kersten, J. (1947). Bali. Eindhoven: Uitgeversmaatschappij de Pelgrim NV.

King, A. D. (1991). Culture, globalisation and the world system: contemporary conditions for the representations. London: Palgrave MacMillan.

Kropf, K. (2009). Aspect of urban form. Urban Morphology, 13(2), 105-120.

https://www.researchgate.net/publication/289348372_Aspects_of_urban_form

Kusno, A. (2000). Behind the postcolonial: Architecture, urban space and political cultures in Indonesia. New York: Routledge.

Kusno, A. (2012). Homogeneity of representations: Salvation or menace. In M. Sadria, Homogeneity of representations (pp. 153-166). Geneve: Aga Khan Award for Architecture.

https://archnet.org/authorities/3262/publications/7210

Kusno, A. (2013). After the new order: Space, politics, and Jakarta. Hawaii: University of Hawaii Press.

Leiden, D. C. (1920). Bali Hotel. Leiden, Leiden, Netherlands. Retrieved from http://hdl.handle.net/1887.1/item:765803

Madanipour, A. (2013). The identity of the city. In S. Serreli, Urban and landscape perspective 14: City project and public space. Dordrecht: Springer.

Moojen, P. A. (1926). Kunst op Bali. Bandung: Adi Poestaka.

Nieuwenkamp, W. O. (1910). Bali en Lombok. Amsterdam: Elsevier.

Nieuwenkamp, W. O. (1910). Bouwkunst van Bali. HP Leopold Ed. Me: The Hague.

Nordholt, H. S. (2011). Indonesia in the 1950’s: Nation, modernity, and the post-colonial state. Bijdragen tot de Taal, Land-en Volkenkunde, 386-404.

https://www.researchgate.net/publication/254831597_Indonesia_in_the_1950s_Nation_modernity_and_the_post-colonial_state

Oliver, P. (2007). Dwellings: the vernacular house worldwide. London: Phaidon Press.

Passchier, C. (2009). Colonial architecture in Indonesia. In P. J. Nas, & M. d. Vletter, The past in the present: Architecture in Indonesia (pp. 121-143). Rotterdam: NAI Publisher.

Passchier, C. (2016). Building in Indonesia 1600-1960. Volendam: LM Publishers.

Pearson, C. (1998). Indonesia Design and Culture. New York : Monacelli Press.

Picard, M. (1997). Bali: Cultural tourism and touristic culture. Singapore: Archipelago Press.

Powell, H. (1982). The last paradise: An American discovery of Bali in the 1920s (Oxford University Press paperback ed.). Oxford: Oxford University Press.

Relph, E. (1976). Place and placelesness. London: Pion Limited.

Robson, D. (2002). Geoffrey Bawa: The complete works. London: Thames and Hudson.

Sastrowardoyo, R. S. (1987). A brief introduction to traditional architecture of Bali: Some basic norm. Denpasar: PT. Atelier 6.

SCETO. (1974). Bali Tourism Masterplan. Paris: UNDP/IBRD.

Sepe, M. (2013). Planning and place in the city: Mapping place-identity. New York: Routledge.

Sepe, M., & Pitt, M. (2014). The characters of place in urban design. Urban Design International, 215-227.

https://link.springer.com/article/10.1057%2Fudi.2013.32

Southworth, M., & Rugerri, D. (2010). Beyond placelessness: Place-identity and the global city. In T. Banerjee, & A. Loukaitou-Sideris, Companion to Urban Design (pp. 495-509). London: Routledge.

Stowel, J. (2012). Walter Spies: a life in art. Jakarta: Afterhours.

Tan, R. (1967). The domestic architecture of South Bali.  Bijdragen tot de Taal‐, Land‐en  Volkenkunde, 422-475.

https://www.researchgate.net/publication/41018305_The_domestic_architecture_of_South_Bali

Tjahjono, G., & Miksic, J. N. (2003). Architecture: The Indonesian Heritage Series. Singapore: Archipelago Press.

Tropenmuseum, R. T. (1900-1960, – -). VI/486. Pasanggrahan te Gitgit Singaradja (Bali). Retrieved from http://colonialarchitecture.eu: http://colonialarchitecture.eu/obj?sq=id%3Auuid%3Adefa1256-5822-46ba-a13f-5d0dc0892ee6

Tropenmuseum, R. T. (1900-1960, – -). VI/487. Bali gouvernements pasanggrahan te Kintamani. Amsterdam. Retrieved from http://colonialarchitecture.eu/obj?sq=id%3Auuid%3A8fb1cbe7-016e-4b18-b930-2793d4c69bf3

Vickers, A. (1994). Travelling to Bali: Four hundred years of journeys. Singapore: Oxford University Press.

Vickers, A. (2012). Bali: A paradise created. Singapore: Tuttle Publishing.

Watson, G. B., & Bentley, I. (2007). Identity by Design. London: Architectural Press.

Whitehand, J. W. (2009). The structure of urban landscapes: strengthening research and practice. Urban Morphology, 13(1), 5-27.

http://www.urbanform.org/online_public/2009_1.shtml

Whitehand, J. W. (2012). Issues in urban morphology. Urban Morphology, 16(1), 55-65.

https://www.researchgate.net/publication/286868244_Issues_in_urban_morphology

Wijaya, M. (1984). Balinese architecture: Towards an encyclopaedia. Denpasar: Wijaya Words.

 

 

 

Belajar Kearifan dari Sahaja Kesiman

Siang itu, awan mendung menggantung di atas kepala mencegah sinar matahari menerobos. Namun cuaca panas tetap tak terhindarkan. Tukang-tukang tradisional terlihat tekun membelah bata-bata kuno berukuran besar, merapikannya, untuk dipasang kembali sebagai dinding pura. Debu-debu yang dihasilkan oleh kegiatan re-konstruksi Pura Sentaka mengepul memenuhi udara. Saya berkunjung ke salah satu pusat peradaban pra-kolonial Denpasar di Kawasan Kesiman. Ditemani Bayu Pramana, akademisi-fotografer-pecinta situs kuno, kami ngobrol ringan seputar pura yang sedang digarap oleh puluhan tukang tersebut.

 

 

Pura Sentaka, menurut penuturan Bayu, dibangun oleh leluhurnya. Minimnya catatan membuatnya kesulitan mengingat kapan tepatnya pura tersebut dibangun. Konon saat buyutnya masih muda, pura tersebut sudah berdiri. Jika menilik informasi tersebut, kemungkinan pura sudah dibangun lebih dari 3 generasi atau lebih dari 100 tahun. Konstruksi pura menggunakan bata merah, kemungkinan bata Gerenceng yang sempat berjaya menjadi pemasok material bangunan ke seluruh pelosok Bali selatan. Ukuran bata, jika dibandingkan dengan bata yang kita kenal belakangan, cukup besar. Tetapi ukuran bata tidak hanya satu, ada beberapa ukuran yang berbeda-beda. ‘Bata yang paling lebar kemungkinan untuk hiasan yang menonjol, sementara yang lebih kecil untuk badan bangunan’, Bayu mengira-ngira. Pemugaran pura diupayakan dengan pendekatan konservasi. Akan tetapi pendekatan kekinian tetap dipakai. Gambar-gambar pelinggih dibuat dengan cara mengukur pelinggih lama lalu dipindahkan ke dalam computer. Bata-bata yang masih kuat dimanfaatkan kembali. Semua ukiran dan hiasan dibuka dan disusun ulang untuk dipasang kembali. Proses ini jauh lebih rumit daripada mengganti baru. Sebagai pewaris, keluarga Bayu yang menyungsung pura ini tidak mau berkompromi terhadap nilai yang tersimpan. Ada kekhawatiran bahwa nilai akan hilang jika diganti baru. Bukankah ada banyak cara selain cara yang rumit ini? ‘Kami meyakini inilah cara yang tepat’, ujarnya mantap. Saat ini riuh rendah terjadi pemugaran pura di berbagai wilayah. Pura yang secara fisik dianggap ‘tidak representatif’ dipugar. Bangunannya diganti dengan yang lebih baru, kayu-kayu tradisionalnya, cempaka atau nangka, ditukar dengan kayu baru, bangkirai, jati dkk. Bataran dan hiasannya diganti dengan yang lebih tahan lama dan ‘modern’. Hasilnya? Pura Nampak lebih megah, bangunannya lebih besar, ukirannya lebih rumit serta bahannya lebih tahan lama. Namun banyak yang menilai proses semacam ini menghilangkan value utama dari pura. Value yang dibangun dan dipupuk bergenerasi-generasi hilang lenyap dalam balutan bangunan megah.

DSC_1143
Ragam hias lama dibuka, disusun ulang dan akan dipasang kembali pada struktur baru

Hujan gerimis tipis turun membasahi dedaunan saat kami berpindah ke Mrajan Puri Kesiman yang dikelilingi kolam. Tetesan air hujan yang jatuh menciptakan lingkaran-lingkaran ritmis di permukaan air yang tenang. Seekor ikan tiba-tiba berkelebat di balik daun-daun teratai hijau. Saat tengah tekun mengagumi dan mengabadikan keindahan karya arsitektur mrajan, Penglingsir Puri (Raja) Kesiman, Turah Kusuma Wardana, tiba-tiba muncul dari balik gapura bata berukir indah. Beliau menyapa ramah dan menyilakan kami berteduh, berlindung dari gerimis siang itu. Memiliki pandangan serupa, Turah, demikian beliau biasa dipanggil, menyatakan hal yang sama dengan Bayu tentang bagaimana beliau merawat warisan berupa puri dan segenap isinya. ‘Saya hanya meneruskan apa yang sudah disuratkan oleh leluhur. Mereka memiliki pengetahuan maha luas yang nyaris mustahil saya lampaui’ ujarnya mantap. Kami melanjutkan berkeliling area mrajan serupa taman tersebut setelah hujan reda. Konon jaman dahulu Kerajaan Kesiman mengelola lahan persawahan yang sangat luas dan subur. Air sungai dikelola dengan baik dan didistribusikan melalui subak-subak di hilir. Sebelum mengalir ke sawah, sebagian air masuk ke halaman mrajan puri dan dijadikan kolam yang mengelilingi bangunan-bangunan suci. Pemimpin Kesiman bisa mengetahui keadaan air di hilir dengan cara melihat air yang ada di mrajan. Jika kolam di mrajan surut, maka bisa dipastikan sawah-sawah di hilir kekurangan air. Cara kontrol sederhana namun efektif. Selang interval beberapa bulan, di mrajan diadakan upacara memohon kesuburan dan kesejahteraan. Mendoakan air selalu tersedia dalam jumlah yang cukup agar kolam di mrajan dan juga di sawah tidak kekurangan. Kesederhanaan berfikir semacam ini mungkin sudah kehilangan tempatnya di jaman serba modern ini, terutama setelah sawah berganti. ‘Segala upacara yang sudah berlangsung ratusan tahun disini tetap kami selenggarakan seperti apa yang sudah berlangung. Saya tidak berani melebihkan apalagi mengurangi,’ ujar Turah setelah kami berkeliling. Bukan hanya upacaranya saja yang terjaga, tetapi juga arsitektur bangunan puri. Tidak Nampak aura kemewahan yang dicirikan oleh bangunan berkelir prada keemasan seperti sebagian besar puri di Bali kini. Banyak puri-puri yang menjaga keagungannya dengan cara membangun ulang dengan bentuk yang lebih megah, warna yang lebih mencolok dan ragam hias yang lebih grande. Tidak demikian dengan Puri Kesiman. Setidaknya itulah yang saya saksikan siang itu. Sepertinya ada upaya untuk tetap teguh menjaga tradisi sarat makna.

 

DSC_1173
Hujan gerimis turun di Mrajan Puri Kesiman

DSC_1168
Gerbang bata mengantarkan kami ke dalam Mrajan

DSC_1170
Meru bertumpang sebelas di Mrajan Puri Kesiman

Luputnya Kesiman dari perhatian, menyebabkan derap pembangunan fisik di Kawasan ini lebih banyak dilakukan oleh komunitas, bukan investor apalagi politisi yang membawa bansos. Investor lebih tertarik dengan kawasan pariwisata, sementara politisi mencari perhatian di kawasan-kawasan yang mendapat sorot media. Hal ini justru menjadikan Kesiman sebagai kawasan pusaka karena tidak banyak warisan budaya arsitekturnya yang dipugar atas nama pembangunan ekonomi atau atas nama jargon politis ‘perbaikan demi masa depan gemilang.’ Sahaja Kesiman yang terawat membuatnya, justru, tampil berkarakter. Khas Bebadungan, lugas, apa adanya tanpa topeng.

Rurung dalam Memori

46766837_2248670425144230_1205851332943020032_n
Rurung di Sanur di tahun 1970an. Photo: Made Wijaya

Kata ‘rurung’ sudah cukup lama menganggu fikiran saya, terutama semenjak jalanan tanah di kampung-kampung mulai diaspal sementara yang di kota dilapisi paving blok. Ada memori yang terhapus saat melihat jalanan yang dahulu berdebu saat kering dan sedikit becek saat hujan berubah mulus dan halus. Bukan, ini bukan soal kualitasnya, tetapi soal ingatan masa kecil.

Saat berusia SD, rurung menjadi halaman bermain anak-anak kampung. Kami terbiasa berkumpul setiap sore, saat terik matahari sudah jauh berkurang, di depan rumah masing-masing saling menunggu. Begitu sebagian besar anak berkumpul, maka berbagai permainan tradisional hingga olah raga ringan bisa dilakukan. Mulai permainan mecepetan, main dipyak (dengkleng;engklek), hingga kasti bahkan sepak bola bisa dimainkan. Suara sorak sorai akan mengundang anak-anak lain untuk datang. Permainan-permainan tersebut tak ubahnya olah raga yang membuat tubuh segar. Selain olah raga, permainan tradisional juga dipercaya mengasah kreativitas serta kepekaan sosial anak-anak terhadap sesama, meningkatkan sportivitas dan kejujuran.

446508350_344104979470306_8098053496785338368_n
Gambar oleh I Mundik memperlihatkan berbagai aktivitas yang berlangsung di rurung.

Tidak hanya anak-anak, ruang terbuka di depan rumah juga disesaki orang tua kami bahkan kakek nenek. Tidak jarang, sebagian orang dewasa masih melanjutkan pekerjaannya, meraut atau memahat patung di rurung. Para petani yang sudah selesai bekerja di sawah memanfaatkan waktu istirahat sorenya dengan duduk-duduk sembari membawa ayam jago membicarakan hal-ihwal sawahdan segala persoalannya. Generasi yang lebih tua lagi memanfaatkan rurung sebagai ruang interaksi mengobrol sembari menunggu matahari tenggelam. Di ujung rurung jamak dijumpai penggak, semacam warung kecil tanpa atap. Di penggak bisa dibeli jajanan tradisional hingga bubur pengisi perut di sore hari.

46508350_344104979470306_8098053496785338368_n
Penggak. Gambar: Miguel Covarrubias

Banyak kisah dan cerita yang terurai, tak jarang masalah-masalah di banjar atau desa bisa diselesaikan, dalam interaksi di rurung. Rurung ibarat ruang keluarga semua warga, tempat berinteraksi dan bersosialisasi, tak ada sekat, semua setara.

Kian sore, jumlah anak yang bermain biasanya kian ramai hingga tiba saatnya matahari tenggelam. Sesaat sebelum matahari tenggelam, mendekati jam 6, arena permainan berpindah ke sungai. Badan yang penuh keringat dan berdebu dibilas di aliran sungai yang mengalir membelah kampung. Permainan dilanjutkan dengan berloncatan dari tepian sungai.

DSC_8087
Berlangsung di Rurung, Perang Pandan di Tenganan Pegeringsingan

Di tempat lain, misalnya di daerah Karangasem, rurung juga memiliki fungsi ritual. Di Desa Tenganan Pegeringsingan nyaris sebagian besar, jika tidak semua, aktivitas ritual berlangsung di rurung. Aktivitas ini termasuk ritual perang pandan yang tersohor itu. Di wilayah lain, rurung menjadi arena untuk megibung masal, sebuah ritual makan bersama dalam suatu rangkaian upacara di desa.

Demikianlah, rurung memiliki berbagai fungsi, mulai dari fungsi sosial, budaya, ekonomi, ritual hingga fungsi pendukung kreativitas anak-anak. Banyaknya memori kolektif yang terjalin dari interaksi yang terjadi di rurung menebalkan rasa persaudaraan, meningkatkan kontrol sosial serta menunjang rasa memiliki. Modal sosial tersebut menjadi dasar kekuatan masyarakat desa.

 

456508350_344104979470306_8098053496785338368_n
Angkul-angkul pembentuk rurung. Photo: Made Wijaya

Untuk mendukung fungsinya, sebuah rurung memiliki berbagai fasilitas meskipun bukanlah sesuatu yang mutakhir. Sekurang-kurangnya di setiap pintu masuk pekarangan terdapat ‘lenéng’. Ini adalah ‘sofa’ informal, tempat duduk yang nyaman bagi siapa saja. Selain ‘lenéng’ batu-batu besar juga bisa menjadi tempat duduk yang kasual.

46771481_296222640996331_9147884688092692480_n
Leneng dan batu sebagai tempat duduk kasual di rurung. Photo: Made Wijaya

Meja dan bangku kecil dibawa oleh pedagang ‘penggak’. Bukan meja atau kursi yang besar tetapi cukuplah untuk meletakkan dagangan sederhana dan tempat duduk sejenak sembari menikmati jajanan.

Di tepian rurung terdapat jelinjingan dan telajakan. Jelinjingan adalah semacam got tetapi bentuknya sedikit tidak teratur. Sementara itu telajakan berfungsi penghijauan, tempat ayam-ayam jago diletakkan di dalam kurungannya. Semak-semak berbunga, pucuk rejuna, soga, mawar, kembang kertas juga mengisi telajakan memenuhi kebutuhan bunga untuk membuat canang. Demikian juga pohon jepun, cempaka, atau pohon buah-buahan lokal.

46668708_353604375404182_1688587996107898880_n
Di telajakan, diskusi berlangsung santai. Photo Made Wijaya

 

Secara arsitektur, ruang rurung dibentuk oleh tembok menerus di kiri dan kanannya. Tembok ini diinterupsi oleh angkul-angkul pintu masuk ke pekarangan rumah penduduk. Dari arah rurung, deretan angkul-angkul ini merupakan sajian arsitektural yang menarik. Meskipun bentuknya mirip, penyelesaian konstruksi dan bahan yang dipergunakan bisa berbeda-beda antara angkul-angkul yang satu dengan yang lain. Angkul-angkul menjadi tempat yang nyaman untuk beristirahat. Anjing pun merasa aman dan nyaman duduk di pintu masuk pekarangan ini.

Fungsi rurung kini telah berubah. Semenjak beberapa tahun belakangan ini sebagian besar rurung telah mengalami pembaharuan secara fisik. Permukaannya yang dahulu becek di kala hujan serta berdebu di kala panas berganti aspal mulus. Tepiannya diturap rapi dan dilengkapi got permanen menggantikan jelinjingan. Tuntutan akan jalan mobil yang lebih lebar seringkali mengorbankan telajakan sehingga ruang hijau menerus yang dahulu nyaman untuk tempat menjemur ayam aduan tidak ada lagi.

Dengan bergantinya permukaan rurung maka beralih pula fungsinya. Kini fungsi utama rurung adalah sebagai jalur transportasi. Raungan kendaraan roda dua dan roda empat menggantikan sorak-sorai anak-anak bermain kasti. Suara klakson dan raut muka tanpa senyum di balik kemudi menggantikan suara kelakar dan wajah penuh tawa yang dulu bisa dijumpai saban hari. Tidak ada lagi anak-anak bermain dan orang-orang kampung bercengkerama sehingga hilang pula peluang ekonomi. Akibatnya, penggak-penggak kehilangan pembeli karena aktivitas di rurung sudah berganti. Dari penggak, tempat nongkrong berpindah ke coffee shop. Kini, ada kerinduan pada aktivitas rurung dengan berbagai aktivitasnya, bukan hanya sebagai jalur transportasi.

46675030_369854530436813_4582681326888419328_n
Warung, tempat istirahat nyaman di sore hari sambil membicarakan gosip lokal. Photo: Made Wijaya

Tentu saja jalur transportasi sangat dibutuhkan di jaman yang serba cepat ini. Aktivitas warga tidak lagi tunggal, hanya bertani, tetapi sudah beragam. Tempat kerja pun tidak lagi di sawah tetapi di kantor-kantor, hotel-hotel dan restaurant, serta tempat-tempat lain. Semua kini butuh kendaraan bermotor entah mobil atau sepeda motor. Akan tetapi, perkembangan ini mestinya tidak menghilangkan kualitas sosial rurung. Saya percaya, jika ada kemauan, kita masih bisa mendapatkan kualitas yang dahulu dimiliki rurung dengan tetap mendapatkan kualitas transportasi yang memadai.

(bersambung ke bagian 2)

 

Ihwal Ikut Cledu pada Arsitektur Bali

moojen032
Bangunan terbuka di pojok sebuah puri di Bali menggunakan atap alang-alang tetapi dilengkapi dengan bubungan genteng. (Foto: Moojen, P.A.J. Kunst op Bali, Adi Poestaka 1926)

Bagi yang sering berkecimpung pada kegiatan studi maupun kegiatan ber-arsitektur di Bali, istilah ikut cledu pastilah bukan sesuatu yang asing. Istilah ini merujuk pada hiasan pada bagian atap bangunan. Letaknya ada pada ujung jurai atap limasan berbentuk ukiran serupa sulur yang menyerupai sebilah daun. Hiasan ini lumrah ditemui di hampir semua bangunan Bali kini sehingga sering dianggap sebagai bagian dari elemen kunci dalam arsitektur Bali.

‘Kenapa setiap mengajukan IMB selalu ditanya soal ikut cledu?’ ketus seorang kawan pada suatu siang di kantornya yang sejuk oleh rerimbunan pohon mangga. ‘Kantor ini tidak memakai ikut cledu, tetapi setiap klien kami merasa nyaman dan menganggap ini adalah bangunan Bali’ ujarnya melanjutkan. ‘Apakah arsitektur Bali mesti diidentikkan dengan ikut cledu?’ pungkasnya.

Saya hanya manggut-manggut sembari berfikir memutar otak mendengar keluh kesah si kawan yang dalam setahun punya klien lebih banyak daripada angka umurnya. ‘Ikut cledu ditempelkan di bagian ujung atap genteng dengan semen, atau setidaknya tanah liat. Artinya ikut cledu butuh tempat yang kuat dan perekat yang mumpuni untuk bisa ditempelkan di bagian atap yang miring’, saya berhipotesa. ‘Sementara bangunan tradisional kita banyak yang beratap jerami, ijuk bahkan klangsah’, saya melanjutkan dugaan. Sementara waktu saya merasa punya jawaban. ‘Jadi kalau kita tengok ke belakang, ikut cledu itu bukan cerminan pokok dari arsitektur tradisional Bali’.

Sejujurnya pertanyaan si kawan itu membuat saya berfikir cukup lama. Sampai di rumah saya buka-buka lagi literature dan buku-buku lama tulisan para peneliti Belanda tentang arsitektur Bali di awal abad 20.

Salah satu buku yang memuat banyak sekali visual arsitektur tradisional Bali adalah Kunst op Bali yang ditulis oleh P.A.J. Moojen. Si penulis adalah salah satu arsitek profesional pionir di kawasan Hindia Belanda dan pada awal abad ke 20 melakukan perjalanan ke Bali. Bukunya memuat ratusan foto-foto bangunan tradisional Bali yang dijumpainya pada masa itu.

Dari foto yang ada di buku, sepertinya hipotesa saya menemukan pembuktiannya. Tidak semua bangunan menggunakan ikut cledu, bahkan sebagian besar bangunan tidak menempatkan ikut cledu sebagai hiasan di ujung atapnya. Namun demikian, ikut cledu banyak dijumpai pada bangunan-bangunan yang memiliki atap kecil yang berfungsi sebagai bangunan peribadatan. Ikut cledu, misalnya, ditempatkan pada atap pelinggih-pelinggih di pura yang ada di Buleleng. Pelinggih-pelinggih tersebut berukuran relatif kecil dengan konstruksi bata atau paras bahan hingga ke atapnya. Dengan atap yang terbuat dari bata atau paras, maka, cukup mudah untuk menempelkan hiasan ukiran sulur di bagian ujung atapnya.

moojen100
Dua pelinggih terbuat dari bata atau paras, satunya memakai ikut cledu sementara yang di kiri menggunakan ornamen yang berbeda. (Foto: Moojen, P.A.J. Kunst op Bali, Adi Poestaka 1926)

Selain pada bangunan pelinggih, hiasan sulur di ujung atap juga bisa dijumpai pada bangunan candi bentar dan kori agung/gelung kori. Serupa dengan pelinggih, bangunan ini juga dikontruksi dari bata atau batu paras. Cara menempelkannyapun serupa dengan konstruksi di bangunan pelinggih yang lebih kecil. ikut cledu ditempatkan pada bagian ujung atap dan direkatkan dengan tanah liat. Penggunaan tanah liat tentu saja lumrah karena ketiadaan semen pada masa itu.

moojen137
Kori Agung di Belayu (Foto: Moojen, P.A.J. Kunst op Bali, Adi Poestaka 1926)

Akan tetapi, ikut cledu hadir tidak di setiap kori agung. Banyak juga kori agung yang tidak menggunakan hiasan ini pada bagian atapnya. penggunaan ikut cledu sangat dipengaruhi oleh gaya bangunan yang diterapkan oleh sang undagi, si pembangun. Misalnya saja pada gelung kori Pura Luhur Uluwatu. Gelung kori pura ini tidak menyertakan ikut cledu sebagai bagian dari ornamennya.

bali106a
Gelung Kori Pura Luhur Uluwatu (atas), tanpa ikut cledu (Goris, R. Bali: Atlas Kebudayaan, 1957)

Pada bangunan-bangunan besar, yang berfungsi sebagai tempat tinggal dan bangunan publik, ikut cledu nampaknya tidak lumrah. Sekali lagi, sepertinya hipotesa bahwa tidak mungkin menempelkan hiasan yang terbuat dari batu paras atau bata pada alang-alang, yang meruapak atap paling dominan pada bangunan besar, menemukan pembenaranya. Foto-foto Moojen yang diambil di seantero Bali menunjukkan bahwa nyaris tidak ada bangunan rumah tinggal menggunakan ikut cledu pada atapnya. Tidak hanya pada bangunan yang beratap alang-alang, ikut cledu juga absen pada bangunan dengan atap sirap bamboo, seperti bangunan yang lumrah dijumpai pada bangunan di Kabupaten Bangli dan kawasan dataran tinggi lainnya yang banyak memproduksi bambu.

 

moojen018
Bangunan-bangunan rumah tinggal beratap alang-alang dan sirap bambu tanpa ikut cledu (Moojen, P.A.J., Kunst op Bali, Adi Poestaka, 1926)

moojen058
Bangunan-bangunan publik dengan atap alang-alang tidak menggunakan ikut cledu (Moojen, P.A.J., Kunst op Bali, Adi Poestaka, 1926)

Ikut cledu muncul dalam sebuah foto bale bengong sebuah puri di Bali selatan beratap alang-alang. Akan tetapi ikut cledu tersebut disematkan pada bubungan atap yang terbuat dari genteng tanah liat. Hal ini menunjukkan bahwa faktor teknis menyebabkan ikut cledu dipakai pada bangunan tersebut.

Ikut cledu kembali bisa dijumpai pada bangunan yang dipakai untuk orang meninggal. misalnya pada bade, wadah yang beratap, serta bangunan untuk menaungi lembu di setra. Bahannya terbuat dari kertas atau, mungkin, upih (pangkal pelepah daun palem kering). Sekali lagi faktor teknis kemudahan menempelkan material ini di ujung bubungan atap limasan barangkali menjadi alasan utamanya.

bali144a
Ikut Cledu pada Bade (Goris, R. Bali: Atlas Kebudayaan, 1957)

Jadi? menurut saya, ikut cledu bukanlah elemen pokok yang menjadikan sebuah bangunan bisa disebut sudah menerapkan arsitektur Bali atau belum. Peran ikut cledu berbeda dengan dinding, ata, lantai dan elemen struktur dengan prinsip-prinsip konstruksinya yang membentuk ruang-ruang tradisional. Setara dengan kekarangan (karang gajah, curing, bentulu, mata, dll), pepalihan, pepatran dan ornamen lainnya, menurut hemat saya, ikut cledu boleh tidak hadir dalam bangunan Bali. Ikut cledu hadir di banyak bangunan tetapi ia bukan elemen inti, it is not the essence of Balinese Traditional Architecture, tetapi karena letaknya cukup tinggi, di bagian atap, iya terlihat menonjol.

Ledakan Kreativitas Kota dalam Mural

DSC_9934Menunggu lampu menyala hijau, setiap orang yang berhenti di lampu pengatur lalu lintas di dekat Art Centre pasti teralih perhatiannya pada lukisan di dinding sebelah barat. Pada lukisan, tergambar sejarah ringkas, hasil intepretasi si pelukis, tentang alih fungsi lahan di Bali. Ada tiga seri lukisan dinding, atau yang kerap disebut mural, pada tembok yang menjadi latarnya.  Pada lukisan paling selatan, tergambar petani tengah membajak sawah sementara pada lukisan di tengah terlihat dua orang yang membicarakan sebidang tanah sawah yang dijual. Pada lukisan paling kanan tergambar keadaan Pulau Bali yang penuh bangunan beton dengan dua orang pemancing yang mendapat hasil sebuah sepatu.

Gambar semacam yang terdapat di dinding sebagaimana saya ceritakan di atas tentu bukan sebuah lukisan yang jamak dijumpai di ruang-ruang pamer seni. Gambar-gambar tersebut tidak punya tempat di ruang-ruang ber-AC yang dingin, untuk dinikmati segelintir kalangan berduit. Sebaliknya, ia dinikmati oleh khalayak ramai, siapa saja yang melintas di jalan. Seringkali diremehkan. Tetapi justru disinilah letak kekuatannya. Kekuatan utama yang tidak terletak pada nilai jualnya, tetapi pada kemampuannya untuk dinikmati oleh banyak orang tanpa preferensi tertentu. Kekuatan inilah yang, sepertinya, dimanfaatkan oleh si pelukis untuk menyampaikan kegundahannya sekaligus pesan moral yang hendak disampaikannya kepada khalayak luas. Khalayak yang lebih sering berada di ruang luar, di tempat-tempat dimana AC adalah barang mewah. Tetapi jangan salah, gambar-gambar yang dibuat oleh, sebut saja, seniman jalanan tersebut memiliki nilai artistik yang juga tinggi. Perhatikan saja teknik penggambaranya, pewarnaannya, hingga kemampuannya merangkum sebuah tema cerita. Niscaya kita akan sadari ada manusia jenius dan kreatif di baliknya. Kreativitas ini tentu disertai dengan keberanian serta kekuatan tanpa pamrih. Sulit membayangkan lukisan-lukisan semacam itu dibuat oleh para penakut, atau orang yang hanya mau mengambil keuntungan finansial semata. Tanpa kreatifitas, tembok di dekat lampu pengatur lalu lintas tersebut mungkin tidak akan menarik perhatian. Tanpa kreatifitas, pesan yang hendak disampaikan mungkin tidak akan terdengar, atau terdengar tetapi dengan efek yang berbeda. Kreatifitas membuat penyampaian pesan menjadi lebih elok. Tanpa kreativitas, seni menjadi barang mewah yang hanya bisa dinikmati sedikit kalangan.

Denpasar, kini telah menjadi metropolitan. Sebagai kota metropolis, penduduknya sangat heterogen. Heterogenitas ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah terbentuknya kota. Berakar dari permukiman-permukiman tradisional, Kota Denpasar berkembang pesat saat di awal abad ke-20 saat Pemerintah Kolonial Belanda membuka Pulau Bali untuk investasi internasional. Bersama investasi, masuk pula kelompok-kelompok masyarakat baru dari berbagai etnis mendiami wilayah pulau yang terbilang tidak besar ini. Berkat peran barunya sebagai pusat pemerintahan kolonial, Denpasar menjadi tujuan tinggal kelompok-kelompok multi etnis yang awalnya datang dengan motif ekonomi. Mula-mula, kelompok-kelompok yang berlainan etnis ini tinggal di kawasan yang berbeda-beda. Kelompok pegawai berkebangsaan Eropa tinggal di kawasan sekitar pusat pemerintahan seputaran Catus Patha, sementara kawasan perdagangan di sekitar pasar dikuasai oleh kelompok etnis China dan Arab. Kelompok etnis Jawa menempati bantaran sungai, sementara penduduk lokal terorganisir dalam banjar-banjar yang sudah ada jauh sebelum hadirnya pemerintah kolonial. Keuntungan ekonomi yang dimiliki oleh Denpasar ternyata masih sangat menjanjikan. Selain itu, peran kota sebagai ibu kota Provinsi Bali membuatnya menjadi pusat pemerintahan, pusat pendidikan, pusat perdagangan hingga pusat pengembangan seni daerah. Akibatnya, sepanjang waktu, aliran pendatang terus mengalir. Hal ini berimbas pada, sebagaimana disampaikan oleh mural di atas, sawah-sawah mengecil bahkan menghilang digantikan oleh bangunan-bangunan berbagai fungsi.

Kini, masyarakat Kota Denpasar tinggal dan tumbuh di lokasi dan dengan kondisi yang berbeda-beda. Sebagian masyarakat hidup di tempat-tempat yang baik dan layak, sebagian lagi hidup di kawasan yang tergolong mewah, menikmati fasilitas yang sangat baik. Namun tidak sedikit juga yang hidup di kantong-kantong dengan layanan infrastruktur yang sangat terbatas. Namun demikian, semua memiliki hak hidup dan tinggal yang sama.

DSC_9923

Kebudayaan yang dibawa oleh kelompok yang berbeda-beda ini tentu sangat beragam. Hal ini menyebabkan mulai terjadinya polarisasi dan juga akulturasi budaya termasuk di bidang kesenian. Kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang di masyarakat diperkaya lagi oleh kesenian-kesenian dari kelompok multi-etnis baru. Sempat muncul kekhawatiran akan memudarnya kesenian local, terutama akibat gerusan globalisasi. Menanggapi hal ini, Pemerintah Daerah, di tahun 1970-an akhir, membangun pusat seni atau yang jamak disebut sebagai Art Centre di Kota Denpasar. Pada fasilitas ini, pertunjukan seni dipentaskan, lukisan dan patung dipamerkan dan masyarakat bisa menikmatinya.

Kesenian terus tumbuh dan berkembang. Masyarakat dengan latar heterogen menemukan dan menciptakan sendiri seninya, seni yang seringkali dituduh tidak memiliki latar belakang budaya. Sesungguhnya seni-seni kontemporer adalah produk budaya penduduk kontemporer. Seperti juga seni tradisional, ia menggambarkan kekaguman, kegelisahan, bahkan ketidakadilan yang terjadi dalam pergaulan masyarakat kontemporer dengan caranya sendiri. Cara yang berbeda dengan kesenian-kesenian tradisional. Perbedaan cara ini seringkali menyebabkan seni-seni kontemporer dituduh sebagai cabang kesenian yang remeh, tidak bermutu. Tentu anggapan ini tidak benar sama sekali. Justru banyak dari seniman-seniman justru menemukan ‘panggung’nya pada kesenian alternative ini.

 

Kini seni mural hadir di banyak lokasi di Kota Denpasar yang penduduknya tidak lagi homogen. Seperti juga mural yang diceritakan di awal tulisan, banyak pesan moral yang dikandungnya. Di dekat pasar Badung yang sedang direnovasi, muncul mural yang cukup menarik. Sebuah pesan antikorupsi menjadi latar belakang aktivitas ekonomi masyarakat. Pesan yang menyelipkan kebanggaan untuk bekerja jujur, kerja masyarakat kebanyakan yang jauh dari hiruk-pikuk politik. Pesan yang mengena, sekali lagi, disampaikan lewat media yang sesuai.

DSC_9914

Seni mural tidak memerlukan prasyarat istimewa. Dia hanya membutuhkan sebidang dinding yang siap menjadi medianya. Demikian juga untuk menikmati seni ini juga tidak butuh tiket, pakaian khusus, ataupun perlu registrasi. Seni ini bisa dinikmati di ruang-ruang public, oleh siapa saja. Tidak peduli bersandal jepit, baju sehari-hari, tanpa perlu mendaftar. Ia hadir mengisi kekosongan, memenuhi ceruk sekaligus hak setiap orang untuk menikmati seni. Seni dan kesenian memang harus dinikmati, dinikmati oleh siapa saja. Kesenian juga representasi masyarakat. Masyarakat heterogen mewujudkan sendiri seninya. Di masa mendatang akan hadir lagi seni-seni yang lain, seni yang mewakili dan menjadi representasi masyarakat pendukungnya. Ibu Suriawati, pemilik CushCush Gallery, yang menginisiasi gerakan Denpasar Art+Design, dalam satu kesempatan mengungkapkan cita-citanya untuk menghidupkan kesenian-kesenian yang terpendam. Upaya yang sekaligus menunjukkan upaya untuk mengangkat derajat seni serta menjadikannya sebagai sesuatu yang ‘sehari-hari’, bisa dinikmati oleh siapa saja. Karena seni bersifat universal.

Kue Pariwisata dan Kegelisahan Desa-desa Kuno di Bali

Faktor ekonomi mendorong nyaris semua aktivitas manusia dewasa ini. Hal ini juga tercermin dalam setiap program pembangunan yang disusun oleh pemerintah. Menyadari besarnya potensi pariwisata, pemerintahan Presiden Joko Widodo meluncurkan program yang disebut sebagai ’10 Bali Baru’. Program kepariwisataan ini berangkat dari fakta bahwa dengan hanya satu Bali saja Indonesia sudah mendatangkan 11.5 Juta wisatawan di tahun 2016. Jumlah kunjungan ini telah menyumbang Rp. 172 Trilliun PDB Indonesia dan menyediakan pekerjaan bagi 12 juta orang. Bayangkan jika ada sepuluh ‘Bali baru’. Keuntungan ekonominya pastilah akan lebih berlipat ganda lagi. Betapa besar kue pariwisata yang bisa dibagi. Tentunya sangat banyak yang ingin mendapatkan bagian dari kue tersebut.

Demikianlah, pariwisata kini menjadi salah satu andalan dalam upaya meningkatkkan perekonomian nasional. Tetapi bagaimana dampaknya bagi masyarakat di akar rumput?

Hari Selasa 7 Agustus 2018, bersama empat orang rekan peneliti, saya berkunjung ke sebuah desa kuno di belahan Bali bagian utara. Desa Tigawasa, demikian namanya. Desa ini tergabung dalam sebuah jaringan desa-desa kuno yang disebut SCTPB terdiri atas Sidatapa-Cempaga-Tigawasa-Pedawa-Banyusri. Desa-desa ini sempat memiliki citra yang kurang baik karena seringnya diberitakan terjadi konflik kekerasan di tahun 1980-1990an. Namun secara arsitektural dan kondisi geografis sangat menarik karena menawarkan keunikan yang tidak bias dijumpai di wilayah Bali lainnya. Lokasinya di lereng perbukitan yang tandus menuntut penyelesaian arsitektural yang khas. Bahan bangunan bambu, dulu, menjadi pilihan material konstruksi tradisional yang tahan gempa. Selain itu, desa-desa kuno umumnya memiliki tradisi khas yang tumbuh dan berkembang secara turun-temurun.

Begitu sampai di daerah Munduk, sepanjang kiri dan kanan jalan yang kami lewati dipenuhi oleh spanduk-spanduk tawaran singgah. Bunyinya, meskipun tidak sama, nyaris seragam: ‘Pondok Wisata Selfie’.

Memasuki jalan sempit berliku dan menurun, mobil memasuki kawasan desa kuno Pedawa di lereng utara Pulau Bali. Jalanan sempit tersebut membuat Agung, yang duduk di belakang kemudi, harus ekstra waspada terutama jika ada kendaraan melintas dari arah berlawanan. Lima belas menit memasuki jalan turunan terjal berliku, di sebelah kanan jalan terlihat beberapa gugus bangunan yang terbuat dari bambu. Tampak sebuah menara dengan tanda ‘jantung’ memuncakinya. ‘Tempat selfie lagi!’ seru Agung. Ya benar, di tengah perdesaan dengan infrastruktur yang tidak begitu mudah dijangkau terdapat fasilitas yang juga sama serupa dengan yang kami lewati sebelumnya di jalanan yang lebih besar. Papan informasi di depannya memberi petunjuk bahwa fasilitas tersebut dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng. Bukan hanya itu, selepas dua puluh menit perjalanan, sebuah papan petunjuk kembali hadir. Tulisannya, ‘Pondok Hobbit’. Jelaslah di lokasi yang ditunjukkan oleh papan tersebut tersedia rumah-rumah kecil ala permukiman di film the Hobbit karya sutradara Peter Jackson yang sempat booming di tahun 2012. Tak bisa disangkal lagi, semua fasilitas tersebut dibangun untuk mengundang pengunjung, para wisatawan yang haus dengan citra diri, selfie.

‘Kami sedang mengupayakan agar desa-desa yang termasuk dalam kelompok SCTPB dikunjungi oleh wisatawan’ ujar seorang pentolan LSM yang kami temui di Kantor Desa Tigawasa. Ujaran ini menyambung penyampaian Kepala Desa yang sekaligus juga merangkap Bendesa Adat bahwa pariwisata kini sedang digiatkan untuk membangun ekonomi desa yang, hingga saat ini, masih bergantung pada cengkeh dan kopi sebagai komoditas utama.

Untuk mendukung program pariwisata desa, maka banyak aktivitas dilakukan. Pembangunan pondok-pondok selfie, barangkali, menjadi primadona. Di tebing-tebing, di tepian hutan hingga di daerah dengan air terjun, kini dibangun pondok-pondok untuk wisatawan mengambil gambar yang bisa diunggah di media sosial.

Fenomena selfie ini mulai merebak tiga tahun belakangan ini. Kemunculan media sosial yang memungkinkan setiap orang untuk memiliki media sendiri untuk menampilkan citra diri menjadi pendorong utamanya. Seiring booming-nya media sosial, yang menimbulkan dominasi citra visual dalam kehidupan keseharian kita, maka daerah-daerah yang menawarkan lokasi selfie turut menjamur. Program acara jalan-jalan yang ditayangkan televisi swasta nasional turut mendorong orang untuk berburu tempat-tempat yang dipandang eksotis. Tidak bisa dipungkiri bahwa hal ini turut mendorong kegiatan kepariwisataan, terutama di kalangan generasi muda. Ada harapan besar, terutama di tataran lokal, akan keuntungan ekonomi yang dibawa oleh aktivitas ini.

Tidak hanya di kawasan Munduk hingga ke Tigawasa, wisata selfie sejatinya berkembang di seluruh wilayah Indonesia, bahkan hingga ke pelosok Papua. Polanya nyaris serupa: menawarkan tempat ngopi dan berfoto di ketinggian dengan pamandangan hutan, danau atau sawah. Bentuk anjungannya berupa pelataran kayu yang ditempatkan pada pohon yang cukup kuat. Belakangan, muncul pula anjungan berupa ayunan.

Berwisata, pada hakekatnya adalah mencari pengalaman baru. Bermanfaat untuk diri sendiri dalam upaya mencari kesejatian diri. Kini, berwisata juga berarti menunjukkan pengalaman baru kepada orang lain. Menunjukkan keunggulan diri kepada orang lain dalam bentuk unggahan di media sosial. Motif yang kedua inilah yang kini, di jaman citra visual, lebih mengemuka dan kelihatan ‘lebih menguntungkan’ secara ekonomis dalam jangka pendek.

Pengalaman baru berwisata bisa didapatkan dari tempat-tempat baru, baik secara alam maupun budaya, yang sama sekali berbeda dari alam dan budaya tempat tinggal si wisatawan. Dalam konteks ini, Bali sempat selalu menjadi unggulan berkat alam dan budaya yang unik. Di dalam Pulau Bali sendiri masih terdapat banyak keunikan-keunikan yang menyebabkannya menjadi kolase beragam budaya dan alam yang spesifik.

Sayangnya keragaman dan keunikan tersebut, sejak merebaknya citra visual imajiner media social dan wisata pamer, gagal dijadikan sebagai dasar membangun ekonomi. Alih-alih melakukan penggalian keunikan lokal, peniruan-peniruan justru merebak. Peniruan ini awalnya memang seolah-olah memberi keunikan tetapi saat semua daerah mengembangkan jenis wisata yang sama, maka pudarlah nilai keunikan tersebut. Kepudaran ini sejatinya tidak akan menjadi masalah jika ia tidak mempengaruhi keunikan otentik yang tumbuh dan berkembang di lokasi tradisional. Sayangnya kini banyak lokasi-lokasi tradisional yang memiliki keunikan mengakar kuat pada tradisi malah sibuk mengejar ‘keunikan’ sesaat dalam bentuk wisata selfie.

Desa-desa tradisional, tanpa intervensi massif demi mengejar citra visual medsos, telah memiliki keunikan yang lahir dari interaksi keseharian manusia dengan alamnya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan penciptanya serta bagaimana interaksi tersebut diwujudkan dalam bentuk arsitektur, produk kerajinan, pertanian, maupun budaya tak benda yang diwariskan. Kemampuan kita meng-kapitalisasi warisan tak ternilai ini semestinya dikedepankan sebagai ujung tombak pembangunan pariwisata. Keinginan memperoleh keuntungan jangka pendek dengan cara melakukan peniruan bias berujung pada menghilangnya potensi yang dikandung oleh keunikan yang telah mengakar. Desa-desa tradisional kini lebih suka meniru disbanding menggali sendiri potensinya.

Jika dengan satu Bali saja sudah banyak desa-desa yang berubah, maka dengan 10 Bali bisa dibayangkan akan berapa banyak keunikan yang tergerus jika pembangunan pariwisata tidak diimbangi dengan pemahaman yang memadai tentang keunikan budaya lokal.

Desa-desa tradisional di Bali yang menjadi ujung tombak penyedia keunikan kini bertransformasi mengembangkan jenis pariwisata yang serupa. Secara pribadi, saya khawatir perkembangan pariwisata yang berlangsung saat ini akan menjauh dari cita-cita luhur membangun jati-diri bangsa. Gurihnya kue pariwisata nampaknya membuat desa-desa kuno, bahkan yang memiliki ‘akar’ budaya paling kuat sekalipun, gelisah.

Semalam Saya Berjumpa Ibu

 

Cahaya matahari yang tidak terlalu terik menimpa dedaunan dan bunga-bunga berwarna warni di taman. Sinarnya memberi terang yang lembut sekaligus menciptakan bayangan bunga-bunga liar di atas rerumputan yang hijau. Embun bening masih tersisa di pucuk-pucuk daun. Pagi masih muda, siangpun masih jauh. Saya mengayunkan kaki diantara semak berbunga dan pepohonan rindang, sesekali arahkan lensa kamera memotret close-up beberapa bunga yang baru mekar. Suara burung merdu serasa ada di atas kepala. Sebuah sungai kecil membelah taman yang indah itu. Jembatan kayu tua tampak berkarisma menyatukan dua sisi taman yang berbeda. Di bawah jembatan, beberapa ekor bebek dan angsa berenang-renang riang. Saya menyeberang ke sisi taman yang satunya, disambut sebuah bangku taman yang menawarkan jenak kepada kaki yang mulai lelah. Tiba-tiba, ‘Berkelilinglah, taman ini luas dan indah, Mang bisa ambil banyak foto bunga’ suara ibu terdengar lirih. Tanpa saya sadari beliau sudah ada di sebelah, duduk tenang di bangku yang sama dan tersenyum. ‘Ibu…’ ujar saya. Beliau mengangguk tersenyum ringan. Beliau menyarankan untuk naik perahu kecil yang ada di atas sungai. Saya ikuti anjurannya, mengarahkan kaki lagi, mengambil beberapa foto. Di satu sudut taman, sebuah pintu tampak setengah terbuka. Saya masuk. Ooh.., ternyata pintu keluar. Di luar pintu, lingkungan terlihat berbeda. Jalan lebih kotor. Mungkin jarang disapu. Kembali ke taman, saya menjumpai perahu yang dibilang ibu. Saya naik sambil menyeimbangkan badan. Beberapa saat kemudian perahu sudah berjalan tanpa suara. Beberapa ekor bebek dan angsa mengikuti dalam hening. Indah sekali taman ini, tenang namun penuh warna.

‘Bapak siapa?’ Tegas bertanya, seorang lelaki kekar. Dia bertelanjang dada, hanya mengenakan celana pendek. Badannya berkeringat dan penuh tato. Sinar matahari tepat di balik punggungnya sehingga wajahnya samar keliatan. Entah darimana datangnya, tiba-tiba saja dia sudah ada di perahu yang sama dengan saya. Ahh mungkin saya terlalu asyik mengambil foto sehingga tanpa sadar ada yang naik ke perahu. ‘Bapak tidak boleh ada di sini, dan harus keluar sekarang juga’, perintahnya jelas. Saya gelagapan. Bergegas membereskan kamera dan tas yang tergeletak di dasar perahu. Mengambil dayung, saya mengarahkan perahu ke tepian lalu meloncat ke daratan sejenak setelah perahu berlabuh. Tanpa menunggu lebih lama saya memacu langkah, taman sudah berada jauh di belakang. Ooh..tapi, tapi ibu tertinggal. Ibu masih di bangku taman. Saya lupa mengajaknya pulang. Saya panggil-panggil namanya, “Ibu…Bu…Ibu….’, hening…, tidak ada sahutan…

Terbangun, mata saya basah oleh air mata.

PS. Ibu saya meninggal pada Bulan Desember 2016, saat saya sedang suntuk-suntuknya belajar di negeri orang jauh dari beliau.