
Badan masih terasa remuk redam saat taksi kami merayap diantara bus-bus bertingkat berwarna merah dan biru menggerayangi jalan jalan sempit pusat kota Oxford. Crescent Hall, tujuan kami, entah kapan akan sampai dengan kecepatan taksi yang sungguh lebih lambat dari laju kerbau yang abis membajak sehektar sawah dan lupa dikasi minum oleh pemiliknya, bertolak belakang dengan kecepatan argo yang seolah melampaui kecepatan lengkingan suara Mariah Carey, aaaaaiiaaaa…. tiba tiba sudah menunjuk angka 10 Pounds dan masih melaju cepat beradu dengan nafasku yang ngos-ngosan. Dari headset di telinga lagu Shoot To Thrill berdentam cepat dari grup cadas AC/DC sekedar untuk menjaga agar mata tetap terbuka. Matahari sudah jauh kesandung dan hampir tenggelam saat akhirnya kami tiba di Crescent Hall. Lingkungannya asri dikelilingi perumahan deret berdinding bata merah. Wuzzz bbbbrrrrr….. dinginnya angin musim gugur menyapa mengusap kepala yang sedari tadi diguyur AC pesawat Etihad. Setelah membayar taksi dan mengucapakan terimakasih, aku menyeret koper raksasa yang hanya berisi tidak sampai setengahnya saja menuju front office hall. Bah berat juga benda ini diseret dalam keadaan letih. Gimana ngga berat, lhah menyeret kaki aja rasanya sudah malas, ini malah ditambah menyeret benda besar yang sudah terlihat robek di bagian atasnya. Receptionist di hall sekadar berbasa basi menanyakan kabar, ‘Hi, how are you doing? How was the flight?’ etc etc…dengan logat campuran British dan Afrika. Berhubung mata sudah lima watt jadi aku jawab saja sekenanya, ‘Am doing good, the flight was fine..’ blah blah blah. Akhirnya kunci yang semula ada di tangannya sudah berpindah ke dalam genggamanku.
Gedung asrama Crescent Hall terdiri atas beberapa bangunan yang saling terkoneksi dengan cukup kompak. Jarak antar gedung tidak lebih dari 3 meter dengan masing masing terdiri atas tiga lantai. Sebuah halaman tengah serupa courtyard, atau natah di Bali, dengan pohon maple rindang di tengah-tengahnya menjadi pusat orientasi lima bangunan. Daunnya melambai lambai mengucap selamat datang tapi aku cueki sajalah, besok barangkali akan kusapa kalau tenaga sudah kembali. Bangunan gedung dibungkus bata seperti bangunan lain di sekitarnya. Masing-masing lantai dihuni enam orang dilengkapi satu dapur dan ruang makan bersama, dua toilet dan dua shower.
Kamarku terletak paling ujung dari arah pintu masuk berhadapan dengan kamar Michael orang asli dari Inggris bagian utara. Tiga orang lainnya adalah Steven berasal dari London, orangnya tidak banyak bicara namun sangat cekatan dalam memasak, Gabriel laki laki bertubuh tinggi besar dari Amerika yang sangat peduli pada penampilan dan satu orang dari Austria yang saat tulisan ini dibuat aku lupa namanya. Satu kamar lainnya masih kosong. Sebagai satu satunya orang Asia aku merasa terasing di tengah tengah mereka namun untungnya keempatnya sangat ramah dan tidak pernah sungkan untuk saling meledek satu sama lain. Mereka masih muda dan sepertinya akulah yang paling tua diantara mereka.
Ukuran kamar tidak bisa dikatakan besar karena hanya memiliki lebar 2.3 meter dengan panjang 4.2 meter. Namun dengan penataan yang optimal, kamar ini terlihat jauh lebih nyaman dibandingkan kamarku di Bali yang ukurannya sedikit lebih besar, 3 x 4 meter. Begitu pintu kamar dibuka, aroma lembab karpet berlomba menyerbu masuk ke rongga hidung tanpa sempat diflter dengan tangan. Setiap kamar dilengkapi dengan satu single bed, satu meja belajar yang dilengkapi dengan rak buku terbuka di atasnya, dua buah meja kecil dengan tiga laci di bawahnya, satu lemari yang cukup besar dengan dua pintu. Dan yang membuatku cukup bahagia adalah sebuah wastafel mungil dengan cermin tanpa bingkai tempat mencukur kumis dan jenggot, berhubung sudah hampir seminggu rambut rambat halus yang tumbuh tanpa ijin itu menjajah sebagian wajah. Lantai kamar dilapisi karpet berwarna broken green (hijau pecah?) yang hangat sementara dinding berwarna peach (kuning samru?). Sebuah heater (penghangat ruang) ditempel di bagian bawah dinding di sebelah kanan tempat tidur. Jendela mungil menghadap semak-semak liar di belakang kamarku berada tepat di atas heater tersebut. Cukup nyaman untuk ditinggali selama kurang lebih tiga tahun sampai aku menyelesaikan PhD program.
Sesaat setelah si receptionist yang bergaya rapper pergi aku segera membuka jaket dan membiarkan tubuhku terjerembab di atas tempat tidur yang tidak seberapa luas. “Gedebug” seperti pohon raksasa yang bagian akarnya dimakan rayap tubuhku yang yang sudah miring bagai di iklan minuman isotonik kini teronggok tak berdaya di atas kasur tanpa selimut. Dalam hitungan detik aku sudah melayang di alam mimpi. Kata orang kesuksesan berawal dari mimpi dan mimpi hanya bisa terjadi kalau kita tidur. Jadi aku putuskan untuk mengawali kesuksesan dengan tidur nyen…..Zzzz….zzzzz…..zzzzzzzz.
Tengah malam sekitar pukul 02.00 dini hari aku terbangun, dinginnya malam membuat badan menggigil dan segera tersadar bahwa tidak tersedia selimut, bantal ataupun guling, hanya kasur. Hmmm rasa capek telah membuat tubuhku abai pada rasa dingin. Aku mengutuki diri sendiri kenapa tidak menyiapkan segala keperluan tidur sebelum berangkat. Sungguh bodoh mengabaikan segala petunjuk yang rasanya sudah pernah aku baca beberapa minggu lalu bahwa mereka tidak menyediakan bantal selimut apalagi guling di dalam kamar. Ah..aku jadi teringat istriku di rumah yang selalu menyiapkan segala kebutuhanku….seandainya ada dia disini pastilah segalanya sudah siap, tempat tidur dengan sprei yang bersih, bantal dengan sarung yang wangi serta selimut yang terlipat rapi. Di tengah dinginnya malam aku bersyukur punya istri yang demikian telaten soal urusan rumah tangga, sehingga aku merasa aman meninggalkan dua anakku bersamanya di rumah. Anak-anak pastilah nyaman bersama emaknya.
Ah, hidup. Ajaib memang. Baru kemarin aku bersama istri dan anak-anakku, berkasur wangi dengan bantal guling kebanggaan, sekarang sudah mojok aku di belahan bumi sebelah sini, terbangun tengah malam, kedinginan, tak berselimut, tanpa bantal dan terancam tengeng.
Melirik koper jumbo yang belum sempat terbongkar, lalu melemparkan pandang pada wastafel mungil bakal tempat cukur, sembari meraba jenggot yang mulai semi, aku agak-agak berkontemplasi, Crescent Hall? Really? Apa-apaan sistem penamaan di sini. Balai pemuda dan olah raga bolehlah. Balai Desa. Balai Kota. Balai Kambang. Balai Sarbini. Tapi Balai Bulan Sabit? Bah! Aku bisa merasakan otot mukaku menarik ujung bibir untuk tersenyum. Oh…. Crescent Hall, Balai Bulan Sabit, tempatku bersarang tiga tahun ke depan ini, bisik pikirku pada hati, barangkali kau memang serupa bulan sabit dalam siklus hidupku. Melengkung imut di langit malam. Setipis semangka. Menunggu bumi berevolusi, untuk nanti menghadirkan purnama. Purnama hidupku. Hidup kami. Hidup anak-anakku beserta ibunya.