Pagi belum menunjukkan rupa sinar yang sempurna. Kakek terlihat duduk-duduk di kelumpu (lumbung padi) bersama rekan-rekannya sesama petani di kampung kami sambil memegang gelas kopinya masing masing. Mereka nampaknya membicarakan rencana menanam padi di sawah milik keluarga yang telah kami warisi dari beberapa generasi. Kata kakek sawah itu bukan milik kami, kami hanya mewarisi hak menggunakan dan mengolahnya, sawah-sawah itu milik Ida Betara dan pada saatnya nanti harus dikembalikan kepada yang punya. Sawah-sawah itu menghidupi kami sekeluarga dengan hasilnya setiap musim panen. Matahari belum terlihat di ufuk timur, namun bias sinarnya di langit sudah cukup membuat atap-atap rumah, yang terbuat dari alang alang, nampak jelas diantara remang kabut yang bercampur dengan asap dari dapur dapur rumah penduduk, yang telah disibukkan oleh aktivitas memasak dan menjerang air. Kakek dan rekan-rekannya, yang sebagian besar adalah juga kerabat, sudah berangkat ke sawah, menyusuri jalan jalan setapak yang belum sepenuhnya benderang. Mereka tentu sudah hapal dengan setiap jengkal setapak yang dilewati setiap hari dari rumah menuju sawah. Bahkan dalam keadaan gelap sekalipun. Sawah sawah di kampung terbagi-bagi dalam beberapa kelompok. masing masing kelompok menanam tanaman yang berbeda-beda sesuai dengan giliran yang telah disepakati. Ya, kata kakek, air yang mengaliri sawah-sawah kami disediakan oleh Tuhan dalam jumlah yang terbatas. Konon hal ini supaya semua orang, para petani khususnya, bisa lebih bijak menggunakan air. Air tersebut bersumber dari Danau Batur di kaki Gunung Batur yang sangat tinggi. Mengalir melalui mata air yang muncul dari dalam tanah di Tampaksiring meliuk liuk seperti ular di lembah lembah Sungai Petanu dan Pekerisan. Air yang terbatas itu dibagi-bagi bergiliran. Jika sedang mendapat giliran menanam padi, maka air dialirkan ke petak petak sawah, sementara petak yang tidak mendapat aliran air mendapat giliran menanam palawija. Demikian air dibagi bagi adil dan merata kepada semua petani sehingga sawah sawah bisa menghasilkan panen yang juga adil dan merata.
Aku bersiap berangkat ke sekolah dengan wajah masih menyisakan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Jarak sekolah hanya sekitar 10 menit berjalan kaki dari rumah. Setiap pagi kami, anak anak kampung, berjalan kaki berkelompok-kelompok ke sekolah. Saling memanggil agar tidak ada yang tertinggal. Sekolah, selain tempat belajar, adalah juga tempat bermain, mengenal alam serta tempat bertemu dengan anak anak dari kampung lain. Pak Gung Aji, guru tertua di sekolah, adalah yang paling pintar bercerita. Cerita beliau selalu membuat kami melongo tidak berkedip saking indahnya rangkaian kata kata yang tersampai dari bibirnya yang hampir keriput. Entah berapa umurnya saat itu, yang jelas rambutnya sudah sepenuhnya putih. Sepatu hitamnya selalu mengkilat bersih. Pakaiannya sederhana seperti juga guru-guru yang lain. Beliau adalah orang pertama yang hadir di sekolah setiap pagi. Menyapu halaman, mengepel lantai kantor serta membersihkan kaca kaca jendela sekolah beliau lakukan jauh sebelum matahari terbit. Setelah semua pekerjaannya selesai barulah pulang untuk mandi dan berganti pakaian dan kembali lagi dengan sepeda onthel hitamnya yang terawat. Kami, anak anak sekolah membantu beliau melakukan semua pekerjaan tersebut dan melanjutkan jika pada waktunya beliau pulang pekerjaan tersebut belum selesai. Kami sangat mencintai sekolah ini seperti juga orang-orang lainnya di kampung.
Angin siang itu bertiup semilir dari arah jendela kelas yang masih tampak mengkilat dengan cat berwarna hijau muda. Warnanya masih tetap terawat sejak jaman Belanda. Sekolah kami dibangun tahun 1944. Dindingnya berwarna putih dengan lantai semen. Bangku bangku kayu jati yang kokoh, papan tulis besar berwarna hitam serta satu lemari besar di pojok ruangan adalah barang yang akrab dimata para siswa. Pak Gung Aji tengah bercerita tentang gunung berapi yang ada di Indonesia.
“Terdapat tidak kurang dari 400 gunung berapi aktif di seluruh Indonesia, dari Sabang sampai Merauke”, beliau memulai kisahnya. Konon gunung-gunung berapi itu sengaja diciptakan oleh Tuhan untuk memberi kesuburan bagi tanah Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau besar dan kecil. Gunung-gunung berapi tidak pernah meletus bersamaan. Semburannya yang dahsyat, berasal dari magma di dalam perut bumi, memuntahkan lava pijar yang panas, hujan abu, pasir dan batu batuan besar dan kecil. Masyarakat di sekitar gunung sudah diberi tanda-tanda oleh alam tentang kejadian ini sehingga, sekalipun banyak yang meninggal, sebagian besar tetap masih bisa menyelamatkan diri. Sekian waktu setelah gunung meletus, masyarakat kembali ke rumahnya masing-masing. “Letusan gunung berapi, selain menumbulkan penderitaan, juga membawa nikmat yang tak terhingga bagi manusia”, demikian Pak Gung Aji melanjutkan. Tanah-tanah menjadi subur karena lapisan abu vulkanik yang gembur, pasir-pasir dan batu batu untuk pembangunan serta tidak jarang pula logam-logam mulia yang terlontar dari dalam perut bumi. Gunung-gunung api bukanlah musuh bagi peradaban bangsa Indonesia. Gunung-gunung berapi adalah berkah dari Tuhan untuk bumi Indonesia. “Lihatlah sawah-sawah yang menghijau di tepian desa kita, bangunan-bangunan yang kita tempati, semua bisa terlaksana karena berkah yang diberikan oleh gunung berapi”. Memanglah tanaman hijau menghampar sejauh mata memandang dari tepian desa. Pohon-pohon buah yang batangnya senang kami panjati untuk mengambil buahnya, sawah-sawah kakek dan penduduk desa lainnya, ladang dan kebun memberi penghidupan bagi seluruh desa.
“ Negara kita, Indonesia adalah yang terkaya di dunia” tangannya bergerak menunjuk peta yang terpasang di papan tulis hitam, “masing-masing pulau memiliki hasil yang berbeda beda, tidak semuanya sama”.
Kami anak kampung tentu tidak paham apa yang dihasilkan oleh masing-masing pulau, tapi dari beliau kami mengetahui bahwa timah dihasilkan di Buton, tembaga dan emas ditambang dari perut bumi Irian Jaya, minyak dihasilkan dari lepas pantai Natuna. Sementara pulau-pulau besar, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, menghasilkan kayu-kayu dengan kualitas terbaik di dunia. Kayu-kayu terbaik itu antara lain dipakai untuk membangun sekolah kami, meja-meja dan bangku serta lemari yang ada di kelas. Nenek moyang bangsa Indonesia, yang terkenal sebagai pelaut ulung, membuat kapal-kapal layar besar dari kayu-kayu yang dihasilkan oleh hutan-hutan terbaik milik Bangsa Indonesia. Perahu-perahu tersebut melayari seluruh negeri yang terdiri dari beribu-ribu pulau dengan adat kebudayaannya yang berbeda-beda, bahkan hingga jauh ke madagaskar di Afika.
“Adat budaya bangsa Indonesia sungguh kaya, seperti juga alamnya yang sangat subur dan kaya, penduduknya saling menghormati dan ramah bertegur sapa”. Kata beliau, Pemerintah Kolonial Belanda sangat gusar dengan keramah tamahan antar penduduk sehingga pada jaman penjajahan harus diadu domba. Namun setelah penjajahan, dengan dasar Negara Pancasila, semua berhasil dikembalikan oleh bangsa yang besar ini. Penduduknya bersatu padu, giat bekerja untuk kemakmuran bangsa. Sekalipun memeluk agama yang berbeda-beda namun semua bisa hidup berdampingan dengan damai. Tanah yang subur menghijau, kaya hasil tambang dan hasil hutan, belum lagi lautan yang memberi hidup jutaan nelayan di pesisir-pesisirnya yang menakjubkan. “Negeri ini dijuluki sebagai zamrud khatulistiwa, permata yang sangat indah, kaya raya dan terletak tepat di garis khatulistiwa”, ujarnya dengan mata berbinar. “Dengan segala kekayaan yang kita miliki, tidak boleh sombong dan serakah, tanah diolah dengan cara yang bijak, ikan-ikan yang masih kecil dibiarkan hidup supaya tidak punah, demikian juga hasil tambang tidak boleh digali secara serampangan. Kekayaan alam kita harus dijaga agar bisa memberi manfaat tidak untuk generasi hari ini saja tetapi untuk generasi-generasi selanjutnya, generasi yang akan terus menjaga zamrud di khatulistiwa ini”.
Apa yang diceritakan Pak Gung Aji membuat setiap orang di kampung kami, yang tidak pernah melihat keindahan dan kekayaan seluruh wilayahnya, sangat bangga menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Pak Gung Aji telah mengajar ribuan anak di kampung kami. Bahkan bapakku dulu juga diajar oleh beliau saat masih di Sekolah Rakyat.
Siang itu, sepulang sekolah, aku dan teman-teman menyusuri jalan kampung, di bawah rumpun bambu yang sejuk berceloteh ramai. Seekor induk ayam meloncat dan mengembangkan sayapnya sementara paruhnya mengeluarkan suara riuh rendah, karena terkejut dengan kehadiran kami melintas di dekat mereka, membuat ayam ayam lain yang sedang asyik mengorek-orek tanah lembab di bawah pohon teep ikut ikutan bersuara riuh rendah. panasnya matahari siang itu tersaring oleh rimbunnya dedaunan menaungi jalan serupa atap menutup bagian atas rumah menciptaa ruang nyaman.
Perut sudah keroncongan saat sampai di rumah. Tanpa membuka sepatu dan mengganti baju aku langsung saja menghambur ke dapur. Bapak dan ibu nampaknya belum pulang bekerja, sementara nenek baru saja pergi menyusul kakekku ke sawah sambil membawakan makan siangnya. Aku membuka wadah nasi. Warnanya yang putih, membuat nasi tersebut nampak kontras dengan warna perabotan dapur yang sebagian besar hitam oleh jelaga. Nasi putih bersih yang dihasilkan dari sawah kakek. Sawah yang ditanami, padinya diperlakukan dengan hormat, disiangi dari tanaman yang mengganggu. Pada saat-saat awal ditanam harus ditunggui siang dan malam untuk memastikan pasokan airnya tidak terganggu. Setelah enam bulan akan muncul bulir bulir keemasan. Itulah saatnya panen, saat seluruh kampung bersuka ria melihat hasil jerih payah yang terbayar oleh kemilau warna padi. Padi padi yang sudah dipanen disunggi dan dipanggul dibawa pulang, disimpan di dalam kelumpu (lumbung padi) di rumah. Padi-padi sewaktu-waktu dikeluarkan untuk dijemur di halaman agar kering dan tidak mudah busuk. Ayam ayam kami biasanya sudah menunggu saat-saat seperti ini. Setiap kali padi dikeluarkan maka harus diawasi karena ayam-ayam sudah mengintai untuk sesekali waktu mencuri-curi kesempatan mematuk padi-padi kalau kami lengah. Padi yang telah dijemur, oleh nenek ditumbuk dijadikan beras. Nah beras itulah yang sekarang telah masak dan terhampar di hadapanku.
Selain nasi, ibu nampaknya juga membuat lauk dan sayur. Sayur kangkung dari sawah kelompok lain yang tidak mendapat giliran menanam padi sudah berupa pelecing di atas meja. Ikan asin dengan sambal tomat telah pula dimasak. Ikan-ikan ini pastilah berasal dari para nelayan yang setiap pagi pulang dari melaut setelah semalaman menjala ikan di tengah laut lepas. Pastilah dia sangat senang dengan hasil tangkapan ikannya yang besar-besar ini. Ah benar kata Pak Gung Aji, Indonesia sungguh negara yang kaya. Zamrud hijau yang dilintasi oleh garis khatulistiwa.