Bath konon merupakan tempat pelesir para petinggi Romawi di abad pertengahan kala wilayah Inggris bagian selatan masih berada di bawah imperium ibukota Italia tersebut. Seolah menyindir perkembangan kota kota di Asia masa kini yang penuh hiruk pikuk teknologi serta ingkar terhadap masa lalu, Bath dengan kebersahajaan jalan setapak diperkeras batu alam dan bangunan kuno yang terawat baik menawarkan nostalgia ke masa lalu sekaligus masa depan yang benderang sebagai sebuah kota ramah pejalan kaki dan hijau. Kota yang dilingkupi Sungai Avon ini membuat saya merasa sangat kecil di ruang sejarah maha besar dalam lintasan waktu ribuan tahun.
***
Pantulan wajah dengan rambut acak-acakan, yang tidak sengaja terpantul di jendela kedai kopi Nero pagi itu menunjukkan muka kusut yang belum sepenuhnya tersadar dari tidur. Entah kenapa, beberapa hari belakangan, rasa kantuk saja tidak cukup untuk mengantarkan alam mimpi datang lebih cepat. Paling cepat jam 1 dini hari barulah mata siap terpejam membuat sulit untuk bangun pagi dengan keadaan segar. Seperti juga pagi itu saat kaki mesti bergegas di keremangan kabut pagi mengejar bis dan kereta api untuk berangkat ke Bath, kota kuno di barat daya Inggris.
Ditemani matahari yang baru terbit disaput kabut tebal dan cericit burung yang mulai ramai, saya menggigil menunggu bis yang akan mengantar ke station kereta. Dua lapis baju, vest serta jaket tebal lumayan membuat tubuh bertahan dari hembusan namun tetap saja udara dingin menyelusup. Sampai di Bath pun mata masih terasa berat setelah lebih kurang satu setengah jam di dalam kereta.
Sebelum jalan-jalan ke suatu tempat baru, biasanya saya mereka-reka rute dengan cara mengutak-atik google maps sehari sebelumnya. Cara ini biasanya memberi gambaran tentang keunggulan serta daya tarik sebuah kota berdasarkan ulasan dari orang yang sudah berkunjung sebelumnya. Tetapi hari itu dengan sedikit kesengajaan, saya tidak melakukan hal itu. Bukan apa-apa, kadangkala membuka internet apalagi melakukan penelitian ringan soal tempat yang akan dikunjungi membuat kita terjebak hanya mengunjungi tempat-tempat yang direkomendasikan oleh banyak orang. Membebaskan diri, meskipun beresiko tersesat atau malah tidak menemukan apa-apa, membebaskan kaki untuk menentukan langkahnya sendiri.
Di awali segelas grande cappuccino, perjalanan hari itu di mulai dari stasiun. Sialnya, belum apa-apa sebuah toko buku, yang dari luar terlihat hangat mengundang, dengan tulisan besar-besar di jendela kacanya, ‘HALFPRICE BOOKS’ sudah menyita waktu beberapa menit serta membuat beberapa lembar pundsterling berpindah tangan berganti dua eksemplar buku. Toko buku memang godaan terbesar dalam hidup.Di saat winter kala cuaca dingin seperti pagi itu, toko buku menawarkan kehangatan, sementara saat summer yang panas menyengat, dia menawarkan kesejukan, membuat undangan untuk mendorong pintunya selalu sulit ditolak.
Kota Bath berukuran relative kecil dan berada di daerah yang berbukit. Dilihat dari peta kota yang terpampang di papan peta, yang tersebar di berbagai sudut kota, nampaknya kota ini memang dirancang berbentuk kompak. Nyaris semua fasilitas penting, serta tentu saja bangunan-bangunan bersejarah yang menjadi objek wisata utama, bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Meskipun jalanan naik turun, karena memang lokasinya berbukit-bukit, kaki tidak terasa lelah karena mata tidak henti melihat karya manusia ribuan tahun di sepanjang rute. Bangunan, undag-undagan batu dengan pagar pengaman indah, patung serta tugu batu, obelisk, semua penanda sejarah tidak henti mengundang rasa penasaran untuk dijelajahi.
Selain bidang pendidikan, dengan University of Bath, industry pariwisata nampaknya menjadi penunjang ekonomi utama kota ini. Hampir di setiap sudut jalan, bisa dijumpai turis-turis bertebaran riang sibuk mengabadikan keindahan kota dengan kamera serta telepon genggamnya masing masing. Industry wisata kota dimotori oleh pelestarian bangunan kuno, ditunjang dengan pemandangan alam, sungai, bukit-bukit hijau tumbuh subur mengundang pengunjung untuk datang, menghidupkan kafe-kafe serta kedai makanan minuman yang bertebaran di sudut-sudut kota. Toko-toko cinderamata pun tidak ketinggalan meraup rejeki dari kue pariwisata kota ini. Jamaknya kota-kota wisata, ruang-ruang pamer benda seni serta museum menyajikan perkembangan kota, bebagai produk benda seni serta kehidupan masa lalu melalui karya karya yang dipajang dan semuanya free admission alias gratis.
Siang itu, langit sangat cerah namun suhu masih cukup dingin, ruang-ruang kota ramai pengunjung. Di ruang-ruang terbuka publik, plaza-plaza luas yang bebas kendaraan, pengunjung berjubel memenuhi bangku-bangku kayu dan bangku-bangku besi yang disediakan untuk mereka. Mungkin karena akhir pekan dan bertepatan dengan hari valentine, pasangan-pasangan bergandengan tangan, sesekali berhenti di depan toko cindera mata atau tertawa ringan bercengkerama. Lagu-lagu romantis tak henti mengalun dari mulut musisi jalanan diiringi alat musik merdu menambah semarak suasana. Tak ketinggalan pedagang buah, sayur mayur serta makanan berbaur di bawah pohon yang tengah meranggas. Sebuah kedai makan kecil di tengah pasar menjadi pilihan saya mengganjal perut. Menunya sederhana, setangkup roti dengan sosis dan dua lembar daging iris, ditemani segelas teh panas.
Jalinan sejarah Kota ini terasa begitu kuat saat kita menapaki jalan-jalan berbatu dengan bangunan-bangunan berusia ratusan atau mungkin juga ribuan tahun di kiri dan kanannya. Saya mengagumi jalan jalannya yang bersih dengan batu yang berkilat-kilat. Pastilah dulu, ratusan tahun lampau, batu batu tersebut juga menjadi pijakan bala tentara romawi atau kereta kereta kuda yang membawa bahan makanan serta bahan kebutuhan hidup lainnya. Jalan yang sama juga dilintasi pelancong dari berbagai belahan dunia tak kenal batas. Seandainya bisa bercerita, barangkali batu itu akan sangat antusias menceritakan pengalamannya dilintasi oleh orang-orang tersohor pada masa yang berbeda beda. Batu, bukan aspal atau beton, memiliki keunggulan karena mampu memperkeras jalan dengan tetap menyisakan pori tempat air hujan merembes ke dalam tanah. Batu-batu dengan kualitas baik, meskipun keras, dengan ukurannya yang relative kecil mampu memberi kelenturan sehingga tidak mudah rusak saat dilalui. Sepertinya Bath memang dirancang dengan sangat matang pada masa lalu. Kota ini jelas dirancang untuk pejalan kaki serta penunggang kuda. Saat ini bahkan setelah kuda tidak lagi popular, kota ini masih menyisakan kejayaan ruang-ruang untuk pejalan kaki, memaksa kendaraan untuk menyingkir ke jalan-jalan yang lebih marginal di pinggir.
lampu-lampu mulai menyala seiring langit yang mulai berubah biru tua. Udara bertambah dingin. pasangan-pasangan yang tadi ramai berlalu lalang di jalan-jalan setapak kini beranjak ke dalam restaurant menikmati hidangan seraya merayakan hari spesial. Empat gadis remaja nampak tertawa lepas sambil memonyongkan bibir sementara tangannya mengarahkan kamera hape ke arah wajahnya. Saya bergegas bersamaan dengan para musisi jalanan yang tergesa menuntaskan lagu terakhirnya sebelum langit semakin gelap sore itu. Lagunya sayup sayup masih terngiang hingga di di dalam kereta yang membawa kembali ke Oxford
…That’s why I’m easy
Aah, aah, aah, aah
I’m easy like Sunday morning
Aah, aah, aah, aah
That’s why I’m easy
Aah, aah, aah, aah
Easy like Sunday morning…
Saat kita merancang kota untuk mobil, kita mendapati mobil berkuasa di segenap sudut kota dengan macet sebagai bonusnya, sebaliknya bonus senyuman bisa diperoleh saat kota-kota dibanjiri pejalan kaki memenuhi ruang-ruang yang memang dirancang untuk mereka. Bath membuat saya kerdil, ya kerdil di dalam ruang sejarah maha besar yang sudah melintas berabad-abad.