
‘Bali will be a lot more boring without Made Wijaya’
Terdengar berlebihan namun bisa jadi juga benar, demikianlah kalimat penutup dari berita obituary Michael White, atau yang lebih dikenal dengan nama Bali, Made Wijaya, yang dimuat di versi online koran The Sydney Morning Herald cukup menohok buat saya.
Sosok expatriate yang datang ke Bali pada awal tahun 1970an ini begitu kontroversial. Cara pandang dan komentar-komentar pedasnya membuat banyak orang tersinggung dan bahkan berpotensi membuat orang membencinya setengah mati. Namun karya lansekap, buku-bukunya tentang arsitektur Bali serta kecintaannya pada penduduk dan kebudayaan pulau dewata membuatnya dicintai. Dengan ketua kutub yang bersebrangan itu, sosok Made menjadi pribadi yang unik dalam lingkaran pergaulan dunia desain dan budaya Bali.
Saya mengenalnya sebagai sosok yang ramah, mudah tertawa lepas namun dalam sekali sentakan bisa tiba-tiba berkata tajam tanpa memikirkan akibat dari perkataannya. Joke-joke yang terlontar dari mulutnya kadang sarkastik dan berbau porno. Konon tidak jarang sikap kritis dan kata-kata tajam membuatnya kehilangan proyek-proyek berharga akibat berselisih paham dengan klien. Bagi Made, memiliki banyak proyek bukanlah tujuannya, tetapi memiliki proyek yang dibangun dengan segenap hati dan cinta adalah yang utama. Sebagaimana diaungkapkan saat menjelasakan bagaimana cara kerjanya yang melibatkan banyak seniman mulai dari arsitek, juru gambar, tukang kebun hingga pemahat.
‘…it is not uncommon when working for a project we work with limited budget but we do it with a big heart’.
Made membangun reputasinya dari titik terendah saat datang ke Bali sebagai pelatih tenis dan kolomnis di surat khabar Sunday Bali Post. Sebagai seorang hippy, katanya.
Dalam obrolan santai pada suatu siang menjelang sore di teras salah satu bangunan Villa Bebek Made menceritakan kisah hidupnya. Kesempatan untuk berperan dalam proyek lansekap diperoleh dari pergaulannya dengan lingkaran arsitek dan investor perhotelan yang tinggal di Bali di akhir tahun 70an. Saat itu, strategi pemerintah untuk menjadikan Bali sebagai etalase budaya Indonesia sedang dilakukan dengan gencar. Proyek-proyek besar dibangun dengan dana dari luar negeri termasuk Bank Dunia dengan harapan akan memberi keuntungan ekonomi yang berlipat. Berlawanan dengan trend pembangunan hotel internasional yang mengadopsi gaya Miami atau Hawaii, anggota kelompok dari lingkaran expatriate ini jatuh cinta pada budaya Bali dan memiliki visi serupa untuk membangun hotel-hotel yang sesuai dengan citra budaya dan kehidupan lokal. Dalam perjalanannya, mereka berkeliling Bali, menyaksikan perunjukan traditional, upacara-upacara ritual di pura hingga bergaul dengan penduduk setempat dengan cara tinggal di rumah mereka.
Barangkali kegiatan ini akhirnya menebalkan kecintaannya kepada budaya Bali serta menumbuhkan militansinya pada upaya mempertahankan nilai-nilai lokalitas dalam setiap karyanya. Tanaman, patung-patung, bentuk-bentuk taman dengan halaman tengah adalah bentukan fisik yang menjadi ciri utama dari karya Made. Namun semua itu hanya pendukung, baginya yang paling utama dari karyanya adalah kelestarian budaya bercirikan kehidupan lokal yang tercermin pada atmosfer yang tercipta. Elemen-elemen tadi hanyalah penunjangnya saja namun bukan berarti tidak penting. Nyaris setiap karyanya memiliki referensi budaya lokal dan sejarah yang kuat. Satu hal lain yang menjadi karakter adalah pertimbangan iklim tropis yang menjiwai pemilihan tanaman serta penempatan kolam serta elemen pelapis permukaan tanah. Lansekap hotel Amandari dan Bali Hyatt di Sanur adalah dua karya besar awal yang mewujudkan idealisme desainnya.
Kekaguman yang berbuah kecintaan dan militansi untuk mempertahankan budaya lokal tidak hanya tercermin dari karya desain lansekap dan arsitektur tetapi menjelma pula menjadi buku. Tidak kurang dari buku arsitektur, buku pertamanan, buku essay hidupnya selama di Bali serta, yang rencananya akan segera diterbitkan, buku Busana Bali adalah wujud lain dari perjuangan dan buah kekaguman sosok unik ini pada pulau yang telah menjadi rumah keduanya ini. Memudarnya preferensi budaya lokal serta menjamurnya gaya-gaya impor yang mewarnai lansekap Bali hari ini adalah dua hal yang sangat disesalinya.
Made memiliki bakat yang luar biasa dan peninggalannya berupa pengetahuan dan karya arsitektur tak ternilai harganya. Sayang, reputasi internasionalnya tak mampu membuatnya merasa dihargai oleh institusi local.
‘I feel unloved by local instituions’, keluhnya pada kesempatan lain.
Minggu terakhir di Bulan Agustus tahun 2016 ini saya mendapat khabar mengejutkan: Made Wijaya meninggal akibat kanker lymphoma yang dideritanya. Tidak banyak yang tahu, selain kerabat dekat, tentang sakit yang konon sudah dirasakannya sejak lama. Tak pelak kepergiannya mengejutkan bagi orang-orang yang mengenalnya, baik yang menggemari maupun yang membencinya. Saya jadi teringat bahwa kami masih memiliki rencana untuk membuat seri wawancara dan dokumentasi arsitektur pariwisata di Bali yang tertunda.
Beruntungah, seperti ditulis di dalam artikel the Sydney Morning Herald, Prof. Adrian Vickers mengungkapkan akan mengabadikan semua karya penelitian dan arsip-arsip budayanya.
Sedemikian banyak pengetahuan yang dimilikinya tentang budaya lokal dan kini akan diarsipkan di Australia, tidak di Bali. Sayang sekali jika tidak ada institusi lokal yang tergerak untuk mengarsipkannya di Bali sehingga, seandainya tidak ada yang melanjutkan, setidaknya bisa dipelajari oleh generasi Bali, generasi yang budayanya menjadi pusat daya tarik bagi Made Wijaya.
Ketidakacuhan kita pada arsitektur lokal barangkali tercermin pula dalam ketidakpedulian kita pada ketekunan dan kekritisan pola pikir serta buah kecintaan sosok Made Wijaya yang tertuang dalam arsip-arsip dan karyanya.
Selamat jalan Made, semoga menyatu dengan Yang Tak Terpikirkan.