Sekolah di luar negeri mungkin merupakan sebuah capaian dari upaya tak kenal lelah ditambah passion tiada henti. Bisa menjadi kebanggaan serta yang paling penting menguak segala rasa penasaran tentang kehidupan di belahan bumi yang lain. Lika liku sekolah di luar negeri juga kadang indah namun tidak jarang penuh duka yang harus dilewati.
Sebagai penerima beasiswa, nasib tidak selalu berjalan sesuai rel, kadang meleset, di lain waktu, malah melenceng dari landasannya. Perjalanan dimulai dari mengintip beasiswa yang pas, memenuhi segenap persyaratan persiapan keberangkatan serta hal-hal teknis lain. Namun jangan juga lupa mempersiapkan mental karena di negeri orang dengan bahasa dan budaya yang berbeda, hidup tidak selalu semulus khayalan.
Tapi mari lupakan dulu segala duka yang mungkin terjadi. Di UK internet luar biasa kenceng, jadi, menikmati youtube tidak lagi perlu khawatir dengan gerakan streaming ala robot. Menonton siaran langsung live streaming sangatlah lancar. Video klip dari artis favourit, siaran langsung sepakbola atau tennis, bisa dinikmati dengan mulus. Selain kenceng, internet juga gratis karena sudah termasuk dalam biaya tuition fee kampus, jadi memanglah sungguh sangat nyaman.
Transportasi massal gratis selaku mahasiswa. Bis datang setiap limabelas menit meskipun kadang terlambat namun tidak lebih 5 menitlah. Tempat duduknya nyaman, interiornya bersih, sopirnya ramah serta kecepatannya tidak lebih dari 20 KM/jam, tidak akan membuat mabok. Tidak ada penumpang merokok, teriak-teriak atau pengamen dengan music ala kadarnya yang menolak dikasi uang recehan. Di kampus pun lumayan nyaman. Ruangan studio luas terang benderang dengan alat tulis yang bisa diambil semau gue: pensil, pulpen kertas, penggaris, map, dll, semua gratis sepanjang untuk kepentingan studi.
Tapi, sebentar dulu. Hidup memang tidak selalu di atas, selalu ada masa masa merasakan bagian terbawah dari lingkaran roda pedati. Kadang ketika kita pas berada pada posisi roda di bawah, saat bersamaan si pedati melewati lumpur. Wah, seperti kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga.
Sebagai penerima beasiswa dari pemerintah, harus bersiap menerima konsekuensi keterlambatan pengiriman. Tentulah tidak ada unsur kesengajaan, tetapi jalur birokrasi yang harus dilewati sampai pencairan beasiswa penuh liku. Pertama-tama ada persyaratan agar mengirimkan laporan perkembangan study yang ditandatangan pembimbing. Tidak ada masalah dengan hal ini, tetapi menjadi rumit ketika diminta saat semester belum berakhir. Jadilah harus memasang tampang memelas kepada pembimbing agar sudi menandatangani laporan di tengah-tengah semester. Meskipun beliau tidak keberatan, tetap saja tatapan aneh menyelidiknya membuat kita tersipu malu. Setelah itu semua persyaratan diupload di web beasiswa.
Bulan-bulan di awal tahun 2014 ini adalah masa-masa suram. Saat partai-partai politik dan simpatisannya hiruk pikuk mempersiapkan pesta demokrasi, para karyasiswa harap harap cemas menanti kiriman biaya hidup bulanan. Sudah lebih sebulan dari jadwal semestinya tapi belum juga cair. Awal semester sebelumnya pihak pengelola, DIKTI, sudah menyampaikan tentang kemungkinan keterlambatan ini, jadi sebetulnya rata-rata karyasiswa sudah bersiap diri dengan skenario terburuk.
Saya sendiri, yang sudah kali kedua menjadi karyasiswa DIKTI, sudah sangat siap lahir bathin. Kalau dulu ada kawan penerima beasiswa dari lembaga lain yang bisa dipinjami sementara, kali ini trik berhematlah yang harus ditempuh. beli bahan makanan paling murah!!
Saat uang di dompet sudah menipis, keberuntungan bisa muncul di depan mata. Sore itu saya bermaksud jalan-jalan, blusukan kata orang, ke tengah-tengah pasar tradisional. Pasar terletak di tengah-tengah kota di belakang deretan toko-toko cukup tersembunyi. Banyak barang yang dijual, umumnya hasil pertanian serta peternakan penduduk setempat. Ada juga barang-barang hasil karya tangan: sepatu handmade, baju rajutan, syal, sampai cenderamata. Tidak ada rencana untuk berbelanja, jadi cukuplah tiga keping logam kuning keemasan menemani di saku. Uang senilai 3 Pounds inipun sekedar jaga-jaga kalau tiba-tiba ketemu warung kopi yang enak, sekalian bisa mampir. Aroma masakan traditional mampir di hidung dari restaurant yang terletak berdekatan dengan pintu masuk pasar. Gurihnya aroma daging yang sedang dibakar, entah sapi atau domba, menguar udara. Perut jadi lapar. Masuk ke dalam pasar, aneka rupa hasil pertanian terpajang rapi di rak rak pedagang sayur-mayur dan buah-buahan bersanding dengan bunga-bunga segar dari kebun-kebun bunga di sekitar kota. Tepat di sebelahnya beberapa potong paha sapi gemuk tergantung di jendela toko daging. Di bawahnya daging ayam yang sudah bersih terpajang di dalam bungkus styrofoam. Bersih dan sama sekali tidak beraroma amis. Dinginnya udara serta prosesnya yang higienis mungkin berperan membuat baunya tidak sampai mengganggu beberapa orang yang sedang asyik makan sandwiches di sebelah saya. Iseng-iseng melirik harganya. BUSYETT!!!, ternyata lebih mahal dibanding di toko serba ada, tempat biasa membeli kebutuhan sehari-hari. Saat ditanya, ternyata semua daging yang dijual disana adalah daging organic hasil peternakan penduduk setempat. Harganya lebih mahal karena diproses mulai dari makanan hingga penyembelihan dan dijual secara organic tanpa melibatkan mesin.
Ahh…untunglah siang itu tidak berniat berbelanja, sekedar berkeliling pasar sambil memotret kehidupan asli penduduk setempat. Lagipula beasiswa masih enggan mampir di rekening. Tidak hanya daging, ternyata barang-barang lain juga memiliki harga di atas rata-rata toko. Saya perkirakan karena semuanya handmade. Sepatu dibuat langsung disitu dengan cara mengukur kaki pemesan, demikian juga baju baju serta syal rajutan semua sama, lebih mahal.
Puas berkeliling pasar, saya memutuskan untuk pulang. Melewati lagi beberapa pedagang termasuk pedagang daging tadi. Di atas meja di dekat pintu terdapat beberapa bungkusan dengan tanda harga 1 Pounds. Iseng-iseng saya dekati. Wah isinya daging beratnya kira kira seperempat kilo. Lhah kok lumayan murah, jauh dari harga yang tadi saya lihat. Setelah diteliti, isinya ternyata tulang-tulang yang tidak laku. Termasuk tulang iga. Saya ambil dua bungkus lalu membayar di kasir. Wah lumayan ternyata dapat setengah kilo tulang kambing dengan harga 2 pounds. Kalau daging kambingnya sendiri per kilo harganya sekitar 10-15 pounds. Saat-saat duit menipis, tentulah hal-hal semacam ini patut disyukuri.
Sampai dirumah, tulang belulang dikeluarkan dan isinya lumayan. Tulang iga dan beberapa potong tulang dengkul. Masih banyak dagingnya. Dua potong iga dimasukkan ke panggangan, sementara dengkul dan tulang lain dimasukkan panci dan direbus. Hasilnya? dua potong iga dan semangkuk besar sup pedas, ditemani sepiring nasi panas di dinginnya sore berkabut, sungguh nikmat tak terkira dengan harga yang terjangkau.
bagi yang senasib, Selamat mencoba…