Tautan seorang teman di laman facebooknya tentang Oxford yang dilabeli sebagai salah satu Kota terbaik di Inggris mengingatkan saya pada tulisan Hermawan Kertajaya tentang Ubud. Sekalipun terbentang jarak yang sangat jauh, sekitar 18 – 30 jam dengan pesawat terbang, saya menemukan nafas yang sama dari kedua kota ini, bagaimana tradisi membentuk image kawasan yang membuatnya dikenal penjuru dunia. Ubud daerah kelahiran dan Oxford tempat hidup sementara saya.

Sampul buku ‘Ubud: The Spirit of Bali’ karya Hermawan Kertajaya
Arsitektur Kota: buah karya tangan tangan terampil
Image Oxford sebagai kota pendidikan melekat kuat di kepala sehingga setiap kali membayangkannya maka yang muncul di kepala adalah bangunan kampus-kampus berarsitektur gothic hingga barock berbahan batu alam menjulang membentuk garis langit, skyline, yang unik. Tidak hanya melalui gedung-gedungnya, keindahan kota dapat dinikmati saat kita berjalan-jalan di jalan-jalan kecil serta gang-gang sempit berbahan batu alam, cobble stone, yang sudah dibuat ada disana selama ratusan tahun yang lampau. Tidak banyak yang berubah dari suasana yang tercipta sejak berabad lampau sehingga identitasnya melekat kuat. Musisi jalanan siap menghibur, saat kita melintas, dengan alunan musiknya yang khas. Ribuan atau mungkin jutaan orang telah melintas menyusuri jalan-jalan dan setiap jengkal ruang kota, tradisi tetap hangat menyapa dengan nafas yang sama. Jalinan sejarah, kisah panjang pengalaman penghuni maupun pengunjungnya, berpilin tidak terpisahkan dengan wujud fisik kota mencipta imaji kota. Imaji sama yang dimiliki banyak generasi sebelumnya dan tidak lekang oleh waktu.

Selain kampus-kampus, Oxford juga terkenal karena perpustakaan yang memiliki koleksi buku tak terhitung. Sebagai kota denan kampus-kampus tertua di Negara berbahasa Inggris, perpustakaan adalah tulang punggungnya. Konon, kalau diletakkan berjejer, rak-rak buku di perpustakaan memiliki panjang total hingga mendekati angka 200 kilometer! Selain di perpustkaan, buku-buku juga dapat kita jumpai di toko toko buku tua yang bertebaran di sekitar kota. Salah satu toko buku paling tua adalah The Blackwell Bookshop. Ruang buku utamanya, Norrington Room, sering dijadikan jujukan pencinta buku dari seluruh dunia. Sekali menjejakkan kaki di di ruanganya, aroma buku-buku dari berbagai genre tercium di hidung. Panjang total rak yang dijejali buku-buku tersebut sekitar 5 kilometer. Cukuplah membuat kaki pegal mengelilinginya, atau bisa dijadikan alternative olahraga terutama di musim dingin yang menggigil. Satu hal lagi, yang saya sukai, kedai kopi di took buku ini terletak di ruangan yang sama. Aroma kopi yang tersaji di meja bercampur dengan aroma buku memberi efek relaksasi yang nyaman.
Place for Museum Lovers
Berjumpa dengan dinosaurus? Binatang langka dari seluruh dunia? Atau melihat penemuan penemuan bidang seni dan science dari berbagai jaman? Kota oxford memiliki museum yang lumayan lengkap. Museum of Natural History memiliki koleksi dari jaman dinosaurus hingga kehidupan alam di dunia saat ini, sementara Museum of the History of Science menyimpan koleksi puluhan atau bahkan mungkin ratusan perkakas berbau tehnology, jam kuno, teleskop dari berbagai jaman, kalender mekanik dari berbagai belahan, alat-alat kedokteran, fisika dan hal-hal lain yang berkaitan dengan teknologi. Ashmolean Museum adalah tempat dimana kita dapat menyaksikan sejarah kebudayaan dari berbagai jaman dan dari berbagai belahan dunia. Koleksinya terbentang mulai Afrika, Asia, Eropa hingga oceania dalam bidang arkeologi, arsitektur, kesusasteraan, ethnografi dan seni berbagai bentuk. Pecinta seni modern bisa menikmati karya-karya seniman di Museum Modern Art. Yang lebih menyenangkan adlah untuk menikmati semua museum tersebut tidak dipungut biaya. Museum-museum seolah menghentikan waktu, sehingga masa lampau dapat dinikmati di masa kini.

Dipenuhi oleh ribuan pelajar sejak beratus tahun lampau, tidak sulit mencari pub atau café-café tempat nongkrong di seputaran kota. The Missing Bean, The Grand Cafe and The Vaults dan masih banyak lagi café –café yang menyajikan kopi, the, sarapan ringan atau makan siang dan makan malam yang berat. Penduduk yang heterogen bisa disaksikan dari beragamnya jenis kuliner yang bisa dijumpai. Hidangan makan malam tradisional ala Inggris bisa dinikmati di restaurant local ternama, Turl Street Kitchen. Konon tidak hanya jenis makannnya yang tradisional tetapi seuruh bahannya juga dihasilkan dari lahan-lahan pertanian yang masih mendominasi lansekap pinggiran kota Oxford. Daerah Cowley, tempat bermukimnya imigran dari berbagai negara, menyediakan makanan yang lebih beranekaragam. Hidangan dari Timur Tengah, Jepang, China dan wilayah lain di Asia dan eropa Timur bisa dijumpai. Sayangnya belum ada restaurant yang menyediakan makanan khas Indonesia.

Ada satu Pub yang sangat terkenal di kalangan mahasiswa, Tavern Turf, terletak di gang sempit tersembunyi di balik dinding-dinding batu alam tinggi. Bentuknya sangat tradisional, hanya bangunan kecil dengan halaman yang dijejali kursi dan meja dinaungi paying-payung kanvas tebal. Mungkin salah satu yang paling ramai di kota sehingga setiap kali kesana saya tidak pernah mendapati kursi yang kosong. Alhasil niat untuk mencicipi hidanganya tidak kunjung sampai. Konon beberapa tokoh terkenal pernah mampir disini. Menurut rumor, Bill Clinton, mantan presiden Amerika Serikat, sering menghisap marijuana pada saat muda di pub ini. Kemudian masih ada pub terkenal lainnya tempat J.R.R. Tolkien, pengarang trilogy The Lord of The Ring, sering bertemu dan mencari inspirasi bersama teman-temannya setiap selasa pagi, The Hawk and Child.
Segenap memory aktivitas serta kenangan bersama dengan wujud fisik kota menjadikan Oxford sebagai kota kecil yang hidup, aktif dan menarik tidak hanya pelajar namun juga turis setiap tahunnya.
Ubud
Lalu jika disuruh memilih kota mana yang lebih baik, saya tetap akan menjawab Ubud. Oxford adalah tempat ideal untuk belajar, melepas penat selepas mengerjakan assignment di café atau pub atau sekedar duduk duduk di pinggir sungai sambil bertegur sapa dengan sesame pelajar atau penduduk lokal. Tetapi Ubud meninggalkan kenangan yang tak terlupa. Berlarian di pematang sawah sambil sesekali menangkap belut di petak-petak sawah berlumpur, memanjat pohon mangga atau papaya lalu membuat rujak di bawah teduhnya rumpun bambu adalah kenangan yang tidak gampang hilang dari kepala.

Ngaben di Puri Peliatan, Ubud. Foto: Widnyana Sudibya
Ubud hari ini memang telah banyak berubah namun, seperti juga Oxford, tradisi masih terjaga baik. Keramah-tamahan penduduk yang tidak sungkan berbaur dengan orang asing adalah cerminan tradisi local yang fasih bergaul dengan tata kehidupan baru. Di Ubud bukan hal aneh menyaksikan festival-festival traditional yang sudah berlangsung ribuan tahun dan masih dipraktekkan hingga kini di ruang-ruang kotanya. Pada hari-hari tertentu, misalnya saat bulan purnama, ruang ruang budaya bale banjar, wantilan, mementaskan tari-tarian tradisional yang dipelajari oleh warga dari nenek moyang secara turun temurun sejak beratus tahun yang lalu. Nada-nada pentatonic dari bilah bilah logam yang ditabuh berirama mengiringi gerak para penari di atas panggung yang tidak terlampau besar. Para penari dan penabuhnya di siang hari adalah orang-orang yang bekerja di kantor-kantor pemerintah, di sekolah atau para petani di sawah dan ladang.

Tari Legong Kuntul, foto: Widnyana Sudibya
Kehidupan sudah jauh berkembang, wujud kota perlahan telah berubah namun nafas tradisi tetap terjaga. Bangunan-bangunan tradisional masih mendominasi lansekap kota, berbahan local dan dikerjakan tangan-tangan terampil tukang-tukang ukir tradisional. Banyak gedung baru yang dibangun dan mengkonversi lahan sawah dan ladang. Bangunan-bangunan baru tersebut dibangun tetap dengan tradisi yang sama dengan bangunan yang telah ada sebelumnya. Atap alang-alang, warna merah bata dindingnya serta dilengkapi taman-taman luas dengan kolam tempat tumbuhnya tanaman lotus. Pota kotanya masih tetap sama. Aktivitas utama penduduk terpusat di sudut persilangan jalan utama dimana pasar traditional berbaur dengan pasar seni. Di pagi hari penduduknya datang dari berbagai pelosok membeli kebutuhan sehari-hari sementara siang hari pasar berubah menjadi semacam gallery seni jalanan.

Puri Saraswati ubud. foto: http://www.fotowisata.com
Seperti juga di Oxford, kawasan Ubud juga dijejali banyak museum. Museum Ratna Wartha adalah yang tertua. Berturut-turut selanjutnya dibangun banyak museum lainnya, Museum Neka, Museum Rudana, Gallery Seniwati, Agung Rai Museum of Art serta yang cukup fenomenal Blanco Renaissance Museum. Museum di Ubud rata-rata dikelola oleh individu-individu yang memiliki kepedulian dengan perkembangan seni dan budaya local. Selain koleksi tetapnya, museum-museum tersebut juga memiliki hari-hari tertentu dimana pegelaran seni budaya local dipentaskan.
Makanan traditional di Ubud sering menjadi referensi pelancong local hingga mancanegara. Hidangan tradisional semacam, ayam atau bebek betutu, bebek goring renyah, nasi ayam kedewatan serta babi guling Bu Oka terkenal hingga ke mancanegara. Warung Bebek Tepi Sawah, Bebek Bengil, Nasi Ayam Kedewatan, Warung Makan Teges dan lain-lain menjadi lokasi makan siang favourite warga dan juga wisatawan. Makanan semacam inilah yang membuat saya selalu menjadikan Ubud sebagai tempat favourit. Duduk di bale-bale terbuka tradisional di pinggir sawah sambil menikmati hidangan bebek goreng, ditemani sambal pedas dan segelas minuman tradisional, daluman, menjadi pengingat untuk selalu pulang saat berada jauh dari rumah.
Ekstasi kota, konon, adalah value yang mampu memuaskan segenap indra kita. Indra penglihatan dengan tampilan fisiknya yang menawan, indra penciuman dengan aroma udara yang menyegarkan, permukaan jalan serta dindingnya, suara-suara indah dari gamelan atau musisi jalanan, serta makanan yang memanjakan lidah. Kota kehilangan daya tariknya saat dia tidak mampu memberi kepuasan bagi indra kita.