Saya tidak banyak menemukan buku-buku berkategori sebagai coffee table book yang dibuat berdasarkan riset mendalam. Hal ini wajar saja, karena buku-buku yang ditujukan sebagai teman minum kopi atau teh di sore hari tidaklah harus yang berat dan penuh teori serta bisa merusak suasana santai. Daya jual utama buku-buku semacam ini, pada umumnya, ditekankan pada keindahan visual serta penampilan luks dengan pemilihan objek yang baik. Ada puluhan, atau mungkin ratusan, buku semacam ini tersedia luas di toko-toko buku di bandara-bandara, mall atau pusat keramaian lainnya. Dilihat dari tempat menjualnya pun membuat saya mafhum bahwa buku ini memang bersifat menemani kita sembari menunggu penerbangan atau menemani sambil ngopi di mall atau menghabiskan waktu luang di pusat keramaian. Dari sedikit buku coffee table, yang menurut saya, bagus tadi adalah yang berjudul: Indonesia Design and Culture karya Clifford Pearson dan Photografer Bryan Whitney.
Indonesia, sebagai sebuah negara kepulauan, sangat sulit jika tidak bisa dibilang mustahil untuk diungkapkan dalam satu buku yang komprehensif. Disamping terpisahkan oleh perairan, banyak hal lain yang menyebabkan wilayah di antara dua samudera ini demikian kaya dengan keragaman. Setidaknya terdapat antara 13.000 hingga 17.000 pulau (tergantung referensi mana yang dipakai dan pasang surutnya air laut), penduduknya berkelompok dalam ratusan etnisitas yang berbicara dalam lebih dari 400 bahasa dengan system kepercayaan, sumber daya alam, serta banyak hal lainnya yang menggambarkan keragaman kawasan ini sebagaimana diakui oleh penulis buku ini.
Keragaman tidak hanya karena letak geografis tetapi juga pengaruh luar yang berbeda beda. Kawasan bagian barat dipengaruhi oleh budaya India, Arab dan China yang berbaur dengan budaya lokal sementara kawasan timur relatif lebih sedikit terpengaruh sampai waktu datangnya pendatang Eropa. Penulis berargumen bahwa ketahanan budaya lokal menyerap budaya-budaya baru, baik dari negara-negara Asia maupun dari Eropa, membentuk budaya unik yang terjadi dari akulturasi budaya tradisional yang sudah mengakar selama ribuan tahun. Kedatangan budaya luar juga tidak terjadi bersamaan melainkan dalam periode yang berbeda-beda membentuk, selain dimensi geografis, dimensi temporal yang rumit.
Dihadapkan pada keragaman yang sedemikan kaya, si penulis buku ini berhasil merumuskan tujuh hal yang menjadi prinsip-prinsip pokok, yang disebutnya sebagai, karakter desain Indonesia. Bagaimanapun juga tujuh karakter ini tentu saja masih bisa didebat. Untuk mengurangi perdebatan, argumentasinya diperkuat dengan pilihan tema yang ditampilkan dalam buku setebal 247 halaman ini. Ketujuh prinsip tersebut adalah: inside out; natural materials; orientation; bold combinations; borrowing from others; embellishment; dan tradition. Menggunakan tujuh prinsip ini, disertai dengan pertimbangan dimensi geografis dan dimensi temporal, beberapa karya arsitektur dan desain ditampilkan dilengkapi pula ulasan budaya lokal.
Dari dimensi geografis, pilihan wilayah yang ditampilkan dikelompokkan ke dalam empat kawasan besar, yaitu : Java; Sumatra; Sulawesi; dan Bali. Di antara empat kelompok geografis ini, Jawa dan Bali mendapat coverage paling banyak dengan masing-masing 7 dan 9 karya dan dengan ulasan kehidupan sosial-budaya masyarakat setempat sebagai pelengkapnya. Dari sisi temporal, variasi yang ditampilkan boleh dibilang cukup luas. Terdapat bangunan tradisional yang diwakili rumah tradisional hingga ke bangunan terkini yang diwakili oleh bangunan villa di berbagai wilayah. Dari dimensi budaya, tentu saja bangunan tradisional menjadi wakil yang murni, sedangkan pengaruh budaya luar tergambarkan dari bangunan baru yang ditampilkan berdampingan dengan yang traditional.
Gambar rumah Arief dan Leila Budiman
Yang, menurut saya, paling menarik dari pilihan proyek yang ditampikan adalah karya-karya yang boleh dibilang tidak familiar tetapi memiliki karakter yang sangat kuat. Wilayah yang dibahas pertama adalah Jawa. Dua proyek pertama merupakan karya dua desainer papan atas: Jaya Ibrahim dan Widayanto. Berlatar belakang seniman, masing-masing melakukan pendekatan yang berbeda dalam rancangannya. Jaya Ibrahim berekcplorasi dengan tema tema tradisional dalam rancangan bangunan kolonial sedangkan Widayanto dengan kepiawaian menggubah bentuk.
Puncak dari rasa tertarik saya pada buku ini ada pada ditampilkannya tiga, diantara banyak, karya terbaik Y.B. Mangunwijaya. Dimulai dari Perkampungan Kali Code, Kompleks Ziarah Sendang Sono dan terakhir adalah rumah Arief dan Leila Budiman. Karya arsitek yang biasa dipanggil Romo Mangun ini kental dengan nuansa ketukangan, craftsmanship, meskipun, secara bentuk sosok, tidak bisa diasosiasikan secara langsung dengan typology traditional tertentu. Nampaknya bangunan-bangunan karya Romo Mangun tidak didikte untuk meniru proporsi atau siluet bangunan tradisional tetapi didasarkan atas tektonika lokal, mengedepankan material lokal terutama kayu dan bambu, menghasilkan bentuk baru. Dengan prinsip-prinsip yang serupa dengan yang diterapkan dalam arsitektur traditional: menggunakan bahan sekitar, menerapkan seni ketukangan setempat, disusun dengan prinsip tektonika sesuai lingkunganya, maka mudah saja bagi bentukan-bentukan ini untuk berbaur menyatu dengan lingkungan sekitarnya seperti yang ditunjukkan oleh rumah keluarga Arief Budiman.
Entah disengaja atau hanya kebetulan, tiga proyek ini menggambarkan kepribadian Romo Mangun yang humanis (permukiman Kali Code), religious (kompleks ziarah Sendang Sono) serta menghormati lingkungan alami (Rumah Arief Budiman).
Sebuah rumah modern, bergaya post-modern, menjadi satu-satunya desain non-indigenous karya Burhan Tjakra. Sekalipun tampil dengan gaya impor, sebagaimana argument bahwa budaya Indonesia memang diperkaya oleh budaya lain, rumah ini tetap menampilkan sebagian dari tujuh prinsip yang dirumuskan oleh si penulis.
Gambar seni ketukangan tradisional dalam mewujudkan rumah di Sulawesi
Rumah-rumah traditional diwakili dua region besar: Sumatera dan Sulawesi. Dari kedua region besar ini terdapat lima bangunan tradisional yang ditampilkan. Widow’s House, Istana Silinduang Bulan dan Rumah Panjang, semuanya ada di Sumatera, ditampilkan bersama uraian soal pasar tradisional, tata cara bertani serta budaya menjunjung bawaan di kepala yang lumrah ditemui di Sumatera. Dua karya arsitektur dengan atap spektakuler khas Toraja tampil mewakili wilayah Sulawesi. Yang pertama adalah Sesean Mountain Lodge di Rantepao dan berikutnya adalah rumah-rumah traditional Tongkonan. Gaudenz Domenig pernah mengungkapkan bahwa atap merupakan elemen yang sangat penting dalam bentuk-bentuk arsitektur tradisional di wilayah Pasifik. Bentuk bentuk atap ini, dalam argument Domenig, seringkali menyerupai perahu, tanduk atau bentuk-bentuk yang imajinatif sesuai dengan kepercayaan lokal. Rumah-rumah di Sulawesi dengan bentuk atapnya yang spektakuler, mendominasi keseluruhan proporsi, menggambarkan dengan jelas argumen peneliti asal Austria tersebut.
Bali menjadi kawasan yang diliput paling banyak di dalam buku ini. Ulasan tentang Pulau Bali meliputi kawasan pertanian, kesenian, adu ayam hingga ke budaya kremasi. Diantara ulasan tersebut, beberapa karya arsitektur dibahas secara mendalam. Pergaulan Bali dengan budaya internasional yang mulai intens di akhir tahun 1960-an, sekalipun telah dimulai sejak kehadiran pemerintah colonial Belanda di tahun 1910-an, di cover dengan bahasan proyek-proyek hospitality masa awal turisme hingga masa modern. Proyek turisme tidak bisa dilepaskan dari fasilitas berupa hotel dan penginapan.
Gambar lobby dengan seni ketukangan lokal untuk mengakomodasi fungsi baru: lobby hotel
Di Bali ada ratusan atau mungkin ribuan fasilitas sejenis yang bertebaran tetapi tidak banyak yang melegenda. Diantara yang melegenda itu adalah Tandjung Sari yang merupakan cikal bakal fasilitas yang disebut Boutique Hotel. Pemiliknya Wija Waworuntu belakangan bekerjasama dengan Donald Friend, seorang seniman eksentrik asal Australia, mengembangkan fasilitas lainnya dengan bantuan arsitek legendaris Geoffrey Bawa dari Sri Lanka dan juga Peter Muller dari Australia. Dari lingkaran pertemanan ini melahirkan banyak arsitek penerus yang hari ini berada di garis terdepan desainer arsitektur perhotelan dunia termasuk diantaranya desainer lansekap Michael White yang belakangan dikenal dengan nama Made Wijaya. Sebagian karya yang lahir dari lingkaran pertemanan ini diulas dalam buku ini mewakili Bali. termasuk yang diulas adalah rumah milik Donald Friend yang dibuat oleh Geofrey Bawa, rumah Wija Waworuntu, dan rumah Walter Spies di Iseh. Dari generasi yang datang setelah generasi awal terdapat Taman Mertasari karya pemiliknya sendiri Made Wijaya, Muller House, Mirah & Carl Burman House dan Jean-Francois Fichot House berlokasi di Ubud. Dari semua karya yang mewakili Bali, ada tarikan nafas design yang serupa. Yang pertama, mereka mengambil inspirasi lokal yang kental baik dari segi bentuk maupun teknik konstruksinya berupa tektonika tahan gempa. Atap alang-alang dominan dipakai di hampir semua proyek. Mengabaikan kelemahannya yang gampang dimakan waktu, alang-alang terbukti membuat ruangan yang dinaunginya menjadi sejuk karena dapat menahan panas matahari sekaligus membiarkan ruangan tetap ‘bernafas’ melalui sela-sela serat alang-alang. Pemakaian elemen-elemen lokal menjadi elemen penting berikutnya dalam desain rumah-rumah tadi membuatnya menyatu dengan rumah atau karya-karya arsitektur di sekitarnya.
Gambar Taman Merta Sari di Sanur
Penulis buku ini, Clifford Pearson, seorang senior editor di majalah arsitektur terkemuka Architectural Record adalah juga kritikus arsitektur yang berpengalaman, nampaknya ingin menampilkan bahwa arsitektur dan desain tradisional memiliki kemampuan bertahan, resilience, yang tinggi terhadap berbagai perubahan yang terjadi baik di bidang kepercayaan, teknik konstruksi serta material baru maupun perubahan temporal kesejamanan. Tujuh prinsip yang dikemukannya di awal buku ini, meskipun masih debatable, bisa dijadikan preferensi untuk mengembangkan arsitektur nusantara yang berjati diri, sesuatu yang seringkali diperdebatkan di ruang-ruang seminar. Credit khusus juga layak disematkan pada photographer buku ini yang membuat tujuh premis yang disampaikan oleh si penulis dengan mudah bisa dipahami melalui visual menawan.
Buku ini memiliki beberapa manfaat. Pertama bisa menjadi bacaan awal sebelum membaca buku-buku arsitektur Nusantara yang lebih serius. Dengan pemaparan yang gamlang diselingi ulasan budaya setempat, penulis seolah ingin memberi ‘pintu masuk’ ke pemahaman yang lebih mendalam. Kedua, bagi yang ingin memahami sekilas sejarah perkembangan Nusantara, buku ini juga memberi ulasan mulai dari jaman awal kedatangan manusia di atas kepulauan hingga masa terkini. Yang terakhir, tentu saja kekayaan visual buku ini bisa menjadi referensi dalam mengembangkan desain yang berkarakter Nusantara.