Resensi: Indonesia Design and Culture

Scan_Maha I Nyoman Gede (13079818)_20160801-134137_0245_001-7

Saya tidak banyak menemukan buku-buku berkategori sebagai coffee table book yang dibuat berdasarkan riset mendalam. Hal ini wajar saja, karena buku-buku yang ditujukan sebagai teman minum kopi atau teh di sore hari tidaklah harus yang berat dan penuh teori serta bisa merusak suasana santai. Daya jual utama buku-buku semacam ini, pada umumnya, ditekankan pada keindahan visual serta penampilan luks dengan pemilihan objek yang baik. Ada puluhan, atau mungkin ratusan, buku semacam ini tersedia luas di toko-toko buku di bandara-bandara, mall atau pusat keramaian lainnya. Dilihat dari tempat menjualnya pun membuat saya mafhum bahwa buku ini memang bersifat menemani kita sembari menunggu penerbangan atau menemani sambil ngopi di mall atau menghabiskan waktu luang di pusat keramaian. Dari sedikit buku coffee table, yang menurut saya, bagus tadi adalah yang berjudul: Indonesia Design and Culture karya Clifford Pearson dan Photografer Bryan Whitney.

Indonesia, sebagai sebuah negara kepulauan, sangat sulit jika tidak bisa dibilang mustahil untuk diungkapkan dalam satu buku yang komprehensif. Disamping terpisahkan oleh perairan, banyak hal lain yang menyebabkan wilayah di antara dua samudera ini demikian kaya dengan keragaman. Setidaknya terdapat antara 13.000 hingga 17.000 pulau (tergantung referensi mana yang dipakai dan pasang surutnya air laut), penduduknya berkelompok dalam ratusan etnisitas yang berbicara dalam lebih dari 400 bahasa dengan system kepercayaan, sumber daya alam, serta banyak hal lainnya yang menggambarkan keragaman kawasan ini sebagaimana diakui oleh penulis buku ini.

Keragaman tidak hanya karena letak geografis tetapi juga pengaruh luar yang berbeda beda. Kawasan bagian barat dipengaruhi oleh budaya India, Arab dan China yang berbaur dengan budaya lokal sementara kawasan timur relatif lebih sedikit terpengaruh sampai waktu datangnya pendatang Eropa. Penulis berargumen bahwa ketahanan budaya lokal menyerap budaya-budaya baru, baik dari negara-negara Asia maupun dari Eropa, membentuk budaya unik yang terjadi dari akulturasi budaya tradisional yang sudah mengakar selama ribuan tahun. Kedatangan budaya luar juga tidak terjadi bersamaan melainkan dalam periode yang berbeda-beda membentuk, selain dimensi geografis, dimensi temporal yang rumit.

Dihadapkan pada keragaman yang sedemikan kaya, si penulis buku ini berhasil merumuskan tujuh hal yang menjadi prinsip-prinsip pokok, yang disebutnya sebagai, karakter desain Indonesia. Bagaimanapun juga tujuh karakter ini tentu saja masih bisa didebat. Untuk mengurangi perdebatan, argumentasinya diperkuat dengan pilihan tema yang ditampilkan dalam buku setebal 247 halaman ini. Ketujuh prinsip tersebut adalah: inside out; natural materials; orientation; bold combinations; borrowing from others; embellishment; dan tradition. Menggunakan tujuh prinsip ini, disertai dengan pertimbangan dimensi geografis dan dimensi temporal, beberapa karya arsitektur dan desain ditampilkan dilengkapi pula ulasan budaya lokal.

Dari dimensi geografis, pilihan wilayah yang ditampilkan dikelompokkan ke dalam empat kawasan besar, yaitu : Java; Sumatra; Sulawesi; dan Bali. Di antara empat kelompok geografis ini, Jawa dan Bali mendapat coverage paling banyak dengan masing-masing 7 dan 9 karya dan dengan ulasan kehidupan sosial-budaya masyarakat setempat sebagai pelengkapnya. Dari sisi temporal, variasi yang ditampilkan boleh dibilang cukup luas. Terdapat bangunan tradisional yang diwakili rumah tradisional hingga ke bangunan terkini yang diwakili oleh bangunan villa di berbagai wilayah. Dari dimensi budaya, tentu saja bangunan tradisional menjadi wakil yang murni, sedangkan pengaruh budaya luar tergambarkan dari bangunan baru yang ditampilkan berdampingan dengan yang traditional.

Scan_Maha I Nyoman Gede (13079818)_20160801-134137_0245_001-5

Gambar rumah Arief dan Leila Budiman

Yang, menurut saya, paling menarik dari pilihan proyek yang ditampikan adalah karya-karya yang boleh dibilang tidak familiar tetapi memiliki karakter yang sangat kuat. Wilayah yang dibahas pertama adalah Jawa. Dua proyek pertama merupakan karya dua desainer papan atas: Jaya Ibrahim dan Widayanto. Berlatar belakang seniman, masing-masing melakukan pendekatan yang berbeda dalam rancangannya. Jaya Ibrahim berekcplorasi dengan tema tema tradisional dalam rancangan bangunan kolonial sedangkan Widayanto dengan kepiawaian menggubah bentuk.

Puncak dari rasa tertarik saya pada buku ini ada pada ditampilkannya tiga, diantara banyak, karya terbaik Y.B. Mangunwijaya. Dimulai dari Perkampungan Kali Code, Kompleks Ziarah Sendang Sono dan terakhir adalah rumah Arief dan Leila Budiman. Karya arsitek yang biasa dipanggil Romo Mangun ini kental dengan nuansa ketukangan, craftsmanship, meskipun, secara bentuk sosok, tidak bisa diasosiasikan secara langsung dengan typology traditional tertentu. Nampaknya bangunan-bangunan karya Romo Mangun tidak didikte untuk meniru proporsi atau siluet bangunan tradisional tetapi didasarkan atas tektonika lokal, mengedepankan material lokal terutama kayu dan bambu, menghasilkan bentuk baru. Dengan prinsip-prinsip yang serupa dengan yang diterapkan dalam arsitektur traditional: menggunakan bahan sekitar, menerapkan seni ketukangan setempat, disusun dengan prinsip tektonika sesuai lingkunganya, maka mudah saja bagi bentukan-bentukan ini untuk berbaur menyatu dengan lingkungan sekitarnya seperti yang ditunjukkan oleh rumah keluarga Arief Budiman.

Entah disengaja atau hanya kebetulan, tiga proyek ini menggambarkan kepribadian Romo Mangun yang humanis (permukiman Kali Code), religious (kompleks ziarah Sendang Sono) serta menghormati lingkungan alami (Rumah Arief Budiman).

Sebuah rumah modern, bergaya post-modern, menjadi satu-satunya desain non-indigenous karya Burhan Tjakra. Sekalipun tampil dengan gaya impor, sebagaimana argument bahwa budaya Indonesia memang diperkaya oleh budaya lain, rumah ini tetap menampilkan sebagian dari tujuh prinsip yang dirumuskan oleh si penulis.

Scan_Maha I Nyoman Gede (13079818)_20160801-134137_0245_001-2.jpg

Gambar seni ketukangan tradisional dalam mewujudkan rumah di Sulawesi

Rumah-rumah traditional diwakili dua region besar: Sumatera dan Sulawesi. Dari kedua region besar ini terdapat lima bangunan tradisional yang ditampilkan. Widow’s House, Istana Silinduang Bulan dan Rumah Panjang, semuanya ada di Sumatera, ditampilkan bersama uraian soal pasar tradisional, tata cara bertani serta budaya menjunjung bawaan di kepala yang lumrah ditemui di Sumatera.  Dua karya arsitektur dengan atap spektakuler khas Toraja tampil mewakili wilayah Sulawesi. Yang pertama adalah Sesean Mountain Lodge di Rantepao dan berikutnya adalah rumah-rumah traditional Tongkonan. Gaudenz Domenig pernah mengungkapkan bahwa atap merupakan elemen yang sangat penting dalam bentuk-bentuk arsitektur tradisional di wilayah Pasifik. Bentuk bentuk atap ini, dalam argument Domenig, seringkali menyerupai perahu, tanduk atau bentuk-bentuk yang imajinatif sesuai dengan kepercayaan lokal. Rumah-rumah di Sulawesi dengan bentuk atapnya yang spektakuler, mendominasi keseluruhan proporsi, menggambarkan dengan jelas argumen peneliti asal Austria tersebut.

Bali menjadi kawasan yang diliput paling banyak di dalam buku ini. Ulasan tentang Pulau Bali meliputi kawasan pertanian, kesenian, adu ayam hingga ke budaya kremasi. Diantara ulasan tersebut, beberapa karya arsitektur dibahas secara mendalam. Pergaulan Bali dengan budaya internasional yang mulai intens di akhir tahun 1960-an, sekalipun telah dimulai sejak kehadiran pemerintah colonial Belanda di tahun 1910-an, di cover dengan bahasan proyek-proyek hospitality masa awal turisme hingga masa modern. Proyek turisme tidak bisa dilepaskan dari fasilitas berupa hotel dan penginapan.

Scan_Maha I Nyoman Gede (13079818)_20160801-134137_0245_001-8

Gambar lobby dengan seni ketukangan lokal untuk mengakomodasi fungsi baru: lobby hotel

Di Bali ada ratusan atau mungkin ribuan fasilitas sejenis yang bertebaran tetapi tidak banyak yang melegenda. Diantara yang melegenda itu adalah Tandjung Sari yang merupakan cikal bakal fasilitas yang disebut Boutique Hotel. Pemiliknya Wija Waworuntu belakangan bekerjasama dengan Donald Friend, seorang seniman eksentrik asal Australia, mengembangkan fasilitas lainnya dengan bantuan arsitek legendaris Geoffrey Bawa dari Sri Lanka dan juga Peter Muller dari Australia. Dari lingkaran pertemanan ini melahirkan banyak arsitek penerus yang hari ini berada di garis terdepan desainer arsitektur perhotelan dunia termasuk diantaranya desainer lansekap Michael White yang belakangan dikenal dengan nama Made Wijaya. Sebagian karya yang lahir dari lingkaran pertemanan ini diulas dalam buku ini mewakili Bali. termasuk yang diulas adalah rumah milik Donald Friend yang dibuat oleh Geofrey Bawa, rumah Wija Waworuntu,  dan rumah Walter Spies di Iseh. Dari generasi yang datang setelah generasi awal terdapat Taman Mertasari karya pemiliknya sendiri Made Wijaya, Muller House, Mirah & Carl Burman House dan Jean-Francois Fichot House berlokasi di Ubud. Dari semua karya yang mewakili Bali, ada tarikan nafas design yang serupa. Yang pertama, mereka mengambil inspirasi lokal yang kental baik dari segi bentuk maupun teknik konstruksinya berupa tektonika tahan gempa. Atap alang-alang dominan dipakai di hampir semua proyek. Mengabaikan kelemahannya yang gampang dimakan waktu, alang-alang terbukti membuat ruangan yang dinaunginya menjadi sejuk karena dapat menahan panas matahari sekaligus membiarkan ruangan tetap ‘bernafas’ melalui sela-sela serat alang-alang. Pemakaian elemen-elemen lokal menjadi elemen penting berikutnya dalam desain rumah-rumah tadi membuatnya menyatu dengan rumah atau karya-karya arsitektur di sekitarnya.

Scan_Maha I Nyoman Gede (13079818)_20160801-134137_0245_001-3

Gambar Taman Merta Sari di Sanur

Penulis buku ini, Clifford Pearson, seorang senior editor di majalah arsitektur terkemuka Architectural Record adalah juga kritikus arsitektur yang berpengalaman, nampaknya ingin menampilkan bahwa arsitektur dan desain tradisional memiliki kemampuan bertahan, resilience, yang tinggi terhadap berbagai perubahan yang terjadi baik di bidang kepercayaan, teknik konstruksi serta material baru maupun perubahan temporal kesejamanan. Tujuh prinsip yang dikemukannya di awal buku ini, meskipun masih debatable, bisa dijadikan preferensi untuk mengembangkan arsitektur nusantara yang berjati diri, sesuatu yang seringkali diperdebatkan di ruang-ruang seminar. Credit khusus juga layak disematkan pada photographer buku ini yang membuat tujuh premis yang disampaikan oleh si penulis dengan mudah bisa dipahami melalui visual menawan.

Buku ini memiliki beberapa manfaat. Pertama bisa menjadi bacaan awal sebelum membaca buku-buku arsitektur Nusantara yang lebih serius. Dengan pemaparan yang gamlang diselingi ulasan budaya setempat, penulis seolah ingin memberi ‘pintu masuk’ ke pemahaman yang lebih mendalam. Kedua, bagi yang ingin memahami sekilas sejarah perkembangan Nusantara, buku ini juga memberi ulasan mulai dari jaman awal kedatangan manusia di atas kepulauan hingga masa terkini. Yang terakhir, tentu saja kekayaan visual buku ini bisa menjadi referensi dalam mengembangkan desain yang berkarakter Nusantara.

Living in the Endless City

Resensi buku

Ricky Burdett and Deyan Sudjic (eds)

DSC_7008[1]

Apa saja persoalan yang dihadapi kota kota di dunia? Apakah persoalan yang dihadapi oleh Mumbai dan New York sama? Sejauh mana kota kota mampu membuat warganya bahagia? Bagaimana dengan Kota Denpasar dan kota lainnya di Bali atau Indonesia?

Pertanyaan tentang kota-kota di dunia selalu memantik perdebatan, membuka ruang-ruang diskusi dan memerlukan strategy yang senantiasa bergerak dinamis. Pernyataan bahwa tidak ada satu strategy generic yang akan menyelesaikan permasalahan kota menggambarkan tingkat kompleksitas dan tingkat multidisipliner persoalan yang dihadapi oleh sebuah kota.

Kita sangat akrab dengan persoalan kota semacam kemacetan, sampah, banjir, polusi udara, dan seterusnya. persoalan –persoalan tersebut muncul secara bersama sama dan saling terkait satu sama lain. Nyaris mustahil untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi perkotaan hanya dari satu bidang ilmu dan satu sisi saja tanpa melihat sisi lain yang kadang berlawanan. Misalnya saja dalam kasus Denpasar, isu kemacetan, polusi udara dan banjir saling berkaitan dengan pola pembangunan kota yang mengutamakan kendaraan pribadi dibandingkan transportasi massal. Ketiadaan transportasi massal menyebabkan penggunaan kendaraan meningkat pada akhirnya menimbulkan kemacetan lalu memicu polusi udara. Kepemilikan kendaraan pribadi juga memicu alih fungsi lahan. Jalan-jalan baru dibangun untuk mengakomodasi kendaraan tadi. Dibukanya jalan membuka peluang alih fungsi yang berakibat pada berkurangnya lahan terbuka hijau yang berfungsi peresapan. Ketiadaan peresapan mengakibatkan banjir. Dan tentu saja masih banyak contoh persoalan lainnya yang tidak berdiri sendiri tetapi saling berpilin membentuk benang kusut yang tidak mudah diurai.

Buku ini, cukup tebal dan berat, merupakan hasil seminar dan konferensi tentang perkembangan dan permasalahan kota-kota yang diselenggarakan oleh LSE Cities selama 5 tahun, mulai 2005 sampai tahun 2010. Kegiatan yang dilaksanakan atas kerjasama antara London School of Economics dengan Deutsche Bank’s Alfred Herrhauses Society ini membahas kota tidak dari satu sisi tetapi dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang yang disajikan tidak melulu saling mendukung tetapi tidak jarang bertentangan satu sama lain, dan disitulah letak diskursus yang menyebabkan kehadiran publikasi ini  menjadi menarik.

Dengan populasi penduduk yang tinggal di perkotaan sekitar 50%, menempati kurang dari 2% luas total pernmukaan bumi, wilayah perkotaan menjadi konsentrasi 80% sumber produksi ekonomi dunia, mengkonsumsi 60-80% energy global, dan melepaskan sekitar 75% emisi CO2 dunia (p: 10). Tingginya peluang ekonomi yang tersedia di wilayah perkotaan tentu saja menjadi daya tarik utamanya. Urbanisasi telah menjadi phenomena global dan tidak ada upaya yang mampu dilakukan untuk menangkalnya kecuali dengan menyediakan peluang-peluang baru dengan tetap mengacu pada daya dukung kota. Pertumbuhan penduduk di dunia ketiga adalah 20% tetapi pertumbuhan ruang terbangunnya meningkat 50% dalam periode 1990-2000. Artinya terjadi peningkatan kebutuhan per orang akan ruang.

Tingginya proporsi penghasilan yang ditawarkan telah menarik jutaan orang untuk tinggal di wilayah perkotaan. Konsentrasi penduduk yang tinggi dengan peluang ekonomi yang juga setara membuat kota, semestinya, menjadi alat yang efektif untuk menanggulangi kemiskinan. Sayangnya hal tersebut tidak terjadi. Ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin masih menjadi issu sosial di banyak negara. Ketidak berimbangan kesempatan yang terjadi antar invididu kerap menimbulkkan permasalahan sosial dan ekonomi. Mumbai, kota terbesar di India dan mungkin juga di dunia, adalah salah satu contohnya. Selain potensi permasalahan sosialnya, Mumbai juga memiliki potensi yang luar biasa dari keragaman penduduknya dengan kekayaan festival, events, serta pergerakan manusia dan barang dalam kecepatan yang berbeda beda. Potensi ini bisa menjadi sumber kekayaan tetapi sekaligus bisa mnjadi sumber konflik. Hal keberagaman ini digambarkan dalam tulisan Rahul Mehrotra.

Konsentrasi manusia yg tinggal di kota semacam Mumbai ini membuat transportasi menjadi lebih singkat karena jarak antara tempat tinggal dan lokasi kerja menjadi relatif pendek. Nyaris setengah dari total penduduk Mumbai melakukan aktivitasnya dengan berjalan kaki atau bersepeda gayung sebagaimana diungkap oleh Geetam Tiwari. sekalipun memuji moda transportasi penduduk ini, Geetam tetap saja mengkritisi ketidakmampuan pemerintah dalam memberi layanan transportasi publik yang memadai. Birokrasi yang berbelit, pemerintahan yang korup dan kurang merakyat mungkin sebagian diantara banyak penyebab lainnya.

Selain Mumbai, dibahas pula dua kota dengan tingkat kompleksitas yang sama rumitnya. Sao Paulo di Brasil adalah representasi konsentrasi penduduk dari berbagai etnis dunia dengan berbagai latar belakang budaya yang berbeda yang tinggal di sebuah kawasan. Tidak kurang dari manusia dengan etnisitas Itali, Yahudi, Spanyol, Arab, German, Russia Ukraina serta tentu saja penduduk asli setempat tinggal di kota terbesar kedua di Brasil ini. Kekuatan Ekonomi Brasil sendiri, digolongkan sebagai negara anggota BRIC yang terdiri atas Brasil-India-Russia-China, sangat berpengaruh terhadap perekonomian dunia dalam satu dekade terakhir. Persoalan yang dihadapi tentu tidak sama dengan Mumbai. Pergulatan politik di masa transisi antara diktatorship menuju pemerintahan yang lebih demokratis adalah satu diantara berbagai persoalan pelik yang diungkap oleh Jeroen Klink. Selain potensi etnisitas yang beragam yang berpotensi melahirkan segmentasi, Sao Paulo  diuntungkan oleh kondisi geografis yang menyebabkannya menjadi salah satu kota perdagangan terpenting di kawasan Amerika selatan.

Posisi geografis juga menjadi salah satu potensi utama yang memicu poertumbuhan ekonomi Istanbul, yang menjadi kota ketiga yang dibahas di buku ini. Posisi unik Istanbul diantara benua Asia dan Eropa menjadikannya sebagai hub penting dalam jalur perdagangan. Secara budaya, hal ini  juga berpengaruh pada bentuk dan desain kotanya. Perpaduan antara arsitektur dan penataan kota Eropa serta keindahan detail arsitektur Asia yang berakar pada kepercayaan lokal membuat Istanbul sebagai kota wisata utama.

Selain membahas tiga kota utama, yang menjadi bagian pertama dari buku tebal ini, terdapat pula gambar-gambar infografis kota-kota dunia. Statistik dan data disajikan sangat menarik dengan grafis yang membuatnya mudah dipahami terpapar dalam bagian kedua dengan tagar DATA. Terdapat tiga sub bagian yang dibahas yaitu perbandingan antara sembilan kota yang dilanjutkan dengan data-data quantitative dalam bentuk angka angka. Sub-bagian terakhir menyajikan data qualititatif.

DSC_7010[1]

Bagian terakhir menampilkan refleksi atas keadaan kota terkini dari berbagai individu dengan latar belakang yang berbeda: ahli jalan raya, ahli dan pemerintah kota, arsitek, urban designer, urban planner dan kelompok individu lain yang, di dalam buku ini,  disebut sebagai urbanists.

Sebagaimana diungkap di awal, tidak ada satu solusi sederhana dan generic yang mampu menyelesaikan persoalan semua kota. Setiap kota memiliki persoalan dan tantangannya yang unik. Buku ini, dengan menyajikan berbagai data dan fakta serta refleksi dari beberapa kota dunia, memperkuat pernyataan tersebut. Dari publikasi ini setidaknya bisa dilihat bahwa kota memang harus dipelajari, dipahami, direncanakan dan juga ditata melalui proses yang tiada henti. Kota adalah entitas yang terus tumbuh sehingga strategi yang mampu membaca pertumbuhan kota akan membuat kota kota di masa kini dan masa mendatang bisa beradaptasi dengan dinamika kebutuhan penduduknya tanpa menyakiti alam serta memberi manfaat bagi kehidupan manusia dan bumi yang lebih baik. Para pendahulu telah memberi contoh yang baik tentang pentingnya membuat rencana kota yang mampu berlanjut, sustainable, seperti apa yang dilakukan H.P. Berlage di Amsterdam, Daniel H. Burnham di Chicago, Baron Haussmann di Paris atau Ildefonso Cerda di Barcelona (p:24).

Masa depan kota di Bali ada di tangan para manajer perkotaan, para bupati dan walikota serta perencana kota. Studi perkotaan memang masih menjadi sesuatu yang kurang menarik peminat karena dampak ekonominya yang besifat jangka panjang. Issu-issu perkotaan yang sudah sangat mengancam di depan mata: banjir, macet, kemiskinan, polusi, ruang hijau, dst., barangkali belum cukup mampu mengalihkan perhatian pemerintah, perancang kota serta arsitek yang melihat pembangunan villa, resort atau hotel jauh lebih menarik. Di masa kini kita lebih akrab dengan gambar-gambar indah fasilitas wisata dibandingkan dengan gambar indah kota, tempat dimana kita menghabiskan sebagian besar waktu kita.

MELIHAT MODERNISME DENGAN KACAMATA MASA LALU

Fundamentals Catalogue : La Biennale di Venezia 2014 by Rem Koolhaas

In 1914 it made sense, perhaps, to talk about ‘Chinese’ architecture, ‘Swiss’ Architecture, ‘Indian’ Architecture. One hundred years later, under the influence of wars, revolutions, diverse political regimes, different states of development, architectural movements, individual talents, friendships and technological progress, architectures that were once specific and local become seemingly interchangeable and global. Has national identity been sacrificed to modernity? –Rem Koolhaas–

OLYMPUS DIGITAL CAMERA
Katalog paling tebal yang pernah saya lihat sejauh ini

Arsitektur modern sudah divonis mati oleh Charles Jencks beberapa decade lampau, namun nyatanya nafasnya masih berdenyut hingga kini. Setidaknya Rem Koolhaas, yang ditunjuk sebagai director Venice Biennale 2014 menganggapnya begitu melalui tema pameran, yang disampaikannya kepada 66 delegasi negara peserta, ‘Absorbing Modernity’. Apa sebetulnya yang hendak dicari dari pameran ini merupakan sesuatu yang barangkali sudah dipertanyakan selama bertahun tahun. Pada Architecture Biennale pertama, dikuratori oleh Paolo Porthogesi, pun sebenarnya sudah tersirat pertanyaan serupa. Tema pameran, yang dilaksanakan pada tahun 1980 tersebut, ‘Presence of the Past’ seolah menjadi antithesis terhadap aliran modernisme yang melulu melihat ke depan. Perlu suatu titik dimana introspeksi menjadi sesuatu yang penting dilakukan. Rem sendiri tanpa ragu-ragu, di dalam katalog pameran ini, menyebutkan bahwa dahulu dia sempat kebingungan dengan tema yang disodorkan oleh Porthogesi karena, mungkin, baginya modernisme adalah soal masa depan bukan masa lalu.

Rem Kolhaas, arsitek kelahiran Rotterdam 71 tahun lampau, tak dipungkiri lagi adalah figure penting dalam dunia arsitektur abad ini baik dalam sebagai seorang praktisi ataupun theorist. Karya-karyanya jelas menggambarkan pandangannya soal arsitektur masa kini serta ramalannya tentang arsitektur yang akan semakin hybrid di masa mendatang. Memulai karirnya sebagai sutradara, Rem kini juga dikenal sebagai urbanist dengan pemikiran tentang masyarakat modern yang akan semakin kosmopolit. Kota-kota, karena pergrakan penduduk yang sangat dinamis, diyakini akan dihuni oleh penduduk dari berbagai macam ras yang berbeda sehingga membutuhkan pendekatan desain yang sama sekali baru. Selain menghasilkan karya-karya berupa rancangan kota, arsitektur hingga furniture, banyak buku yang telah ditulis baik sendiri maupun bersama kolaboratornya. Buku-buku tersebut diantaranya: Delirious New York; S,M,L,XL; Junkspace, Living-Vivre-Leben dan masih banyak lagi, mempengaruhi pemikiran-pemikiran arsitektur dari elemennya yang paling mendasar: manusia.

Rem Koolhaas yang ditunjuk menjadi director untuk Architecture Biennale 2014, mengambil tema Absorbing Modernity, menginginkan agar negara-negara peserta menceritakan apa yang terjadi di negara masing-masing selama 100 tahun terakhir, dimulai dari 1914 hingga 2014, di bidang arsitektur serta di bidang pembangunan secara umum. Seolah ingin melakukan melihat kembali kejadian lampau, pameran kali ini melihat modernisme sebagai sesuatu yang bukannya harus didengungkan untuk masa mendatang melainkan sebagai sesuatu ujian yang terjadi di masa lalu. Sepanjang kurun 100 tahun tersebut tentu semua negara peserta mengalami sendiri goncangan, shock, di bidang social, politik, ekonomi dan berpengaruh pula terhadap arsitektur dan kota-kota di negara tersebut. Cerita inilah yang diminta untuk diputar kembali. Begitulah, 66 negara peserta lalu menyajikan tema tersebut dalam beragam bentuk.

Katalog ini sampai di tangan saya dalam waktu yang cukup singkat sejak saya mulai memesannya di Amazon, kurang dari 24 jam. Saat saya membuka karton pembungkusnya, isinya ternyata sangat tebal dan cukup berat. Terbengong, orang Bali menyebutnya’ care cicing nepukin tai gede’ saya bingung darimana harus memulai menikmatinya. Meskipun statusnya adalah katalog, tetapi ini di luar ekspekstasi saya terhadap sebuah buku pengantar pameran yang biasanya kecil, menarik, kertas licin dan enak dibaca karena ringkas. Yang ini setebal nyaris 600 halaman plus halaman depan. Untunglah dijilid cukup sophisticated sehingga tidak mengkhawatirkan akan jebol atau rusak. Dengan ketebalan yang ekstrem untuk sebuah katalog, terus terang agak menyulitkan untuk menikmatinya, dibaca sambil tidur susah, sambil duduk takut jilidannya tidak kuat. Lay outnya, bagi yang tidak familiar dengan buku-buku a la Netherlands Architecture Institute (NAI), cukup membuat kening berkerut dan mata cepat lelah. Margin untuk teks sangat tipis baik kiri kanan maupun atas sementara gambar-gambar diletakkan di setengah bagian bawah halaman tanpa margin baik kiri-kanan maupun bawah. Tebalnya katalog ini, menunjukkan seberapa serius Rem Koolhaas dan timnya membahas issue ini, membuatnya susah untuk dibawa-bawa.

Isinya terbagi ke dalam tiga sub tema besar, yang pertama tentu saja mencakup isi tema utama pameran ini yaitu ‘Absorbing Modernity’ menampilkan konsep pavilion 66 negara peserta serta, yang sangat unik , liputan kejadian yang menimpa 66 negara peserta dalam 100 tahun melalui essay foto yang dibuat secara bersambung di bagian bawah halaman. Jangan terkecoh, seperti saya pada awalnya, essay foto-foto di halaman tidak berkorelasi secara langsung dengan teks di halaman yang sama di mana foto diletakkan. Foto-foto dibuat bersambung, secara kronologis berdasarkan tahun, dari halaman yang satu ke halaman berikutnya menjalin sebuah cerita tersendiri, sementara teks di bagian atas merupakan penjelasan terhadap konsep pavilun masing-masing negara yang disusun secara alphabetical. secara asimetri, cerita sejarah seratus tahun perkembangan arsitektur berbagi ruang dengan kisah soal bagaimana negara peserta melakukan intepretasi terhadap tema yang disodorkan.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA
Teks di bagian atas tidak berkorelasi langsung dengan essay foto di bagian bawah halaman. Masing-masing memiliki informasi yang berbeda.

Sejarah, adalah sesuatu yang nampaknya ingin disusun oleh Rem dan timnya dalam biennale 2014 ini. Hal ini tercermin pula dalam ulasan bagian kedua dari katalog ini yang mengetenghkan elemen-element arsitektur. Pada bagian ini paparkan berbagai elemen yang dipakai dalam arsitektur beserta perkembangannya. Elemen-elemen tersebut dipakai, sekaligus juga menjadi objek pameran pada central pavilion dari bienalle ini. Pada bagian akhir diberi kesempatan untuk bidang art Italia termasuk seni sinematografi, teater, dan tari yang menjadi elemen pengisi pada acara biennale. Semua pentas beserta kisahnya, terutama terkait dengan sejarah modernity, ditampilkan dalam bab bertajuk Monditalia.

Modernity, sekali lagi, belum mati sebagaimana ditegaskan oleh Rem dalam katalog ini, akan tetapi, melihat 66 paviliun dan juga serial foto essay yang mengiringi katalog, diserap oleh semua negara dalam berbagai bentuk melalui tanggapan yang juga beragam. Kehadirannya pada awal hingga pertengahan abad ke dua puluh dengan anak kandungnya international style, harus diakui, telah mengguncang dunia. Banyak yang khawatir bahwa modernitas, sebagaimana diungkap dalam pembukaan bab ‘Absorbing Modernity’, akan mereduksi identitas nasional. Tetapi kini modernitas mengalir dalam berbagai bentuk, tidak bisa dilihat sebagai hitam putih berlawanan dengan gerakan lain di arsitektur misalnya ‘Regionalism’. Moderisme, di tangan yang berbakat, justru bisa dipakai sebagai senjata untuk mempertajam identitas nasional.

Seandainya kerangka kerja yang sama, melihat balik ke belakang, dipakai untuk membahas arsitektur Bali, mungkin akan bisa kita lihat apa yang terjadi serta bagaimana modernitas di absorb oleh arsitek dan mempengaruhi arsitektur Bali.  Perdebatan yang dibalut romantisisme, yang mendominasi diskurus arsitektur Bali saat ini, barangkali bisa digiring ke arah yang lebih produktif, menghasilkan typology baru yang tetap mengakar namun tidak mengingkari ke-sejamanan-nya.

Membaca katalog ini seolah kita diingatkan kembali perkembangan arsitektur tidak bisa dilepasakan dari sejarah social-politik-dan ekonomi sebuah negara. Buku ini, meskipun statusnya sebagai katalog, tidak hanya berperan sebagai pengantar sebuah pameran saja, tetapi dia hadir sebagai bagian pokok dari pameran. Akan sangat bermanfaat tidak saja bagi sejarahwan arsitektur maupun sejarahwan pada umumnya tetapi juga bagi praktisi: para arsitek dan desainer kota, yang ingin memahami lebih jauh soal isu-isu moderinisme dan pengaruhnya terhadap identitas tempat atau identitas negara.